Diungkapkan dr Anis Kurniawati, PhD, SpMK(K) selaku sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kemenkes, kapan waktu minum obat berarti waktu 24 jam dibagi frekuensi tersebut. Misalnya pada obat dengan dosis tiga kali sehari, berarti obat harus diminum tiap delapan jam.
"Bukan berarti kalau diminum 3 kali sehari, itu setelah makan pagi, siang, sore, nggak boleh seperti itu, terutama antibiotik. Kalau 3 kali sehari ya berarti 24 jam dibagi tiga, ya per 8 jam minumnya. Bukan sarapan pagi jam 7 lalu makan siang jam 1 minum lagi, malamnya jam 7 minum lagi, kan nggak delapan jam," tutur dr Anis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau waktunya minum obat malam, ya anak dibangunin supaya dia minum obat, begitu misalnya," lanjut dr Anis ditemui usai Media Briefing World Antibiotic Awareness Week di Oakwood, Kuningan, Jakarta, dan ditulis pada Jumat (13/11/2015).
Dikatakan dr Anis, aturan frekuensi minum obat memiliki hitungan bagaimana konsentrasi obat di serum naik dan turun. Misalnya pada obat yang time dependent, obat tersebut harus ada terus-menerus di dalam serum, di atas konsentrasi hambat minimal meskipun hanya sedikit.
Nah begitu konsentrasi obat akan turun, maka sudah waktunya si pasien minum obat lagi demi menjaga konsentrasi obat di dalam serum tetap stabil. Lantas, bagaimana jika pasien kelupaan minum obat sedangkan waktu sudah akan masuk ke bagian delapan jam ke-dua?
"Kalau dirapel atau didobel gitu nggak bolehlah. Cepat diminum aja saat itu juga, dan tetap kembali ke waktu delapan jamnya. Sebetulnya semua obat aturan minumnya ya seperti itu, 24 jam dibagi berapa kali. Khusus pada antibiotik, ada yang satu kali sehari, dua kali, tiga kali sehari, bahkan cuma diminum satu kali selama sakit, contohnya antibiotik untuk infeksi saluran kemih," pungkas dr Anis.
Baca juga: Kenapa Tidak Boleh Minum Obat dengan Susu?
(rdn/vit)











































