Dikatakan Dr Raymond R Tjandrawinata, PhD, FRSC, Direktur Eksekutif Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS), manfaat herba yang resepnya diturunkan bertahun-tahun belum memiliki standar ilmiah. Sehingga ini masih dikategorikan sebagai jamu.
"Karena masih empiris, masih empirical evidence. Jadi masih berdasarkan pengakuan. Sementara riset dibutuhkan untuk membuktikan secara ilmiah apakah benar khasiatnya, dosis amannya berapa dan senyawa apa yang memberikan manfaat tersebut," tutur Raymond, dalam temu media di DLBS, Cikarang, Jawa Barat, Rabu (27/1/2016).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, riset untuk mahkota dewa juga dikembangkan. Tujuannya adalah mengambil senyawa bermanfaat yang ada dari buah mahkota dewa untuk dijadikan obat.
Baca juga: Meski Banyak Herba Berkhasiat, Tapi Tak Boleh Dikonsumsi Asal-asalan
"Misalnya sebagai jamu butuhnya 5 gram. Tapi kalau diriset dan diambil senyawa bermanfaatnya saja, dijadikan kapsul, maka yang dibutuhkan hanya 50 mg. Lebih sedikit dan lebih kecil, namun manfaatnya sama atau bahkan lebih besar," ungkapnya lagi.
Dalam industri farmasi herba modern, Raymond mengatakan peneliti biasanya mencari tahu senyawa apa yang bermanfaat untuk penyakit tertentu. Setelah itu baru dicari dari mana senyawa itu didapat, apakah dari daun, batang, akar ataupun buah suatu tanaman.
"Jadi kita lihat, misalnya senyawa apa yang bagus untuk diabetes. Setelah itu kita cari di tanaman apa senyawa itu ada. Baru kita riset dosisnya, uji klinis, dan akhirnya dijual sebagai obat, bukan lagi berbentuk jamu," pungkasnya.
Baca juga: Ragam Manfaat Minum Teh Bagi Kesehatan Manusia (mrs/vit)











































