Semasa kecil, Phelps adalah seorang pengidap ADHD (Attention Deficiency and Hyperactivity Disorder). Dalam Bahasa Indonesia, gangguan tumbuh kembang ini dikenal juga dengan istilah GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas).
Oleh dokter anak yang menanganinya semasa kecil, Phelps diharuskan mengonsumsi obat Ritalin agar tidak hiperaktif saat mengikuti pelajaran di kelas. Gara-gara obat itu pula, ia mengalami bullying yakni setiap kali perawat di sekolah mengingatkan Phelps untuk minum obat di depan teman-temannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Phelps mematahkan prediksi para guru di sekolahnya dulu bahwa sebagai pengidap ADHD, ia tidak akan pernah sukses di bidang apapun. Dikutip dari detikSport, Phelps di usianya yang kini menginjak 31 tahun telah mengoleksi sedikitnya 21 medali emas dari 4 olimpiade yang diikutinya.
Baca juga: Lionel Messi, Pemain Terbaik Piala Dunia yang Mengidap Gangguan Hormon
Praktisi pendidikan anak berkebutuhan khusus dari Mitra Netra, Aria Indrawati menganggap Phelps sebagai contoh sukses dalam mendampingi anak berkebutuhan khusus. Mengenali keunikan anak secara individual merupakan kunci keberhasilan bagi orang tua dari anak berkebutuhan khusus, yang ingin buah hatinya berprestasi seperti Phelps.
Keunikan pada anak-anak berkebutuhan khusus mengharuskan adanya pendekatan yang juga khas pada tiap-tiap anak. Phelps misalnya, hiperaktif dan susah fokus karena memiliki kelebihan energi yang akhirnya tersalurkan melalui renang. Melalui renang pula, Phelps akhirnya berprestasi menjadi salah satu bintang olimpiade paling bersinar.
"Biasanya ketika kelebihan energi itu tidak tersalurkan, anak-anak dengan ADHD menjadi hiperaktif di kelas dan kemudian dengan mudahnya malah dicap sebagai anak nakal," kata Aria, ditemui di kantornya baru-baru ini.
Baca juga: Mengenal Bekam, Terapi Tradisional yang Digemari Para Atlet Olimpiade
(up/vit)











































