Mereka yang Sukses Menorehkan Prestasi Meski Lahir dengan Down Syndrome

Mereka yang Sukses Menorehkan Prestasi Meski Lahir dengan Down Syndrome

Radian Nyi Sukmasari - detikHealth
Selasa, 20 Des 2016 11:35 WIB
Mereka yang Sukses Menorehkan Prestasi Meski Lahir dengan Down Syndrome
Jakarta - Terlahir dengan down syndrome tidak membuat orang-orang ini putus asa. Mereka terus berusaha meraih cita-citanya meski butuh perjuangan untuk melalui itu.

Namun, usaha yang dilakukan membuahkan hasil. Orang-orang ini sukses menorehkan prestasi meski punya keterbatasan. Siapa saja mereka? Simak paparannya berikut ini seperti dirangkum detikHealth pada Selasa (20/12/2016).

Baca juga: Masuk ke Mesin Pengering, Anak dengan Down Syndrome Ini Diselamatkan Anjingnya

1. Yulissa, si instruktur zumba profesional

Foto: ilustrasi/thinkstock
Yulissa Arescurenaga lahir dengan down syndrome. Kecintaannya pada menari tumbuh saat usianya 10 tahun. Di tahun 2008 Yulissa ikut kelas zumba dan saat itulah ia ingin menjadi instruktur zumba profesional.

Demi mencapai impiannya, Yulissa rajin berlatih zumba 6 jam sehari. Di tahun 2012, gadis 24 tahun ini berhasil menjadi instruktur zumba berlisensi. Bahkan, ia didapuk sebagai instruktur zumba dengan down syndrome pertama. Kini, Yulissa mengajar zumba di banyak tempat.

2. Adi, si mahasiswa IPB

Foto: Firdaus Anwar
Ferdhi Ramadhan (21) yang akrab disapa Adi mengidap down syndrome karena ada kelainan genetik. Hal ini membuat Adi memiliki IQ di bawah rata-rata dan masalah kesulitan belajar.

Sang ibu, Ernim Ilyas (59), mengatakan Adi tetap semangat mengenyam pendidikan. Di tahun 2015 Adi ia berhasil menamatkan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bina Karya Insani. Tak berhenti di situ ia juga berhasil meraih beasiswa dari Kementerian Sosial untuk lanjut kuliah.

Berbagai tes sebagai persyaratan masuk perguruan tinggi pun diikuti oleh Adi. Jurusan yang menjadi pilihannya adalah program diploma Jaminan Mutu Pangan (JMP) di Institut Pertanian Bogor. Adi pun lulus seleksi dan meski kemampuan memahami teori kurang, Adi jago lho untuk pelajaran praktik.

"Adi sekarang bisa bikin sirop. Bisa bikin selai nanas," kata Adi yang ke depannya berencana membuat produk makanan sendiri yang dijual di warung keluarga.

3. Anna, remaja yang jago main jimbe

Foto: Martha HD
Siti Amannah Paneh (19) atau Anna memang menunjukkan ketertarikan pada bidang musik, khususnya alat musik jimbe. Melihat itu, sang ibu, Pramuri Harumdani atau Muri (49), mendaftarkan Anna ke sanggar Jimbe. Apalagi sebelumnya Anna juga pernah tergabung dalam kelompok musik asuhan Dian Hadipranowo atau Dian HP.

"Berlatih jimbe sangat bermanfaat untuk Anna. Dengan berlatih jimbe, Anna bisa melatih konsentrasi dan belajar kerjasama tim," tutur Muri.

Saat ini, Anna bersekolah di sekolah khusus kemandirian. Di sekolah tersebut, para siswa yang kebanyakan mengalami Down Syndrome diajari cara merawat diri sehingga bisa hidup lebih mandiri.

4. Andrew, remaja yang tekun kelola restoran keluarga

Foto: Facebook
Bersama sang kakak, remaja down syndrome bernama Andrew (20) ini mengelola restoran bernama Ankar's Hoagies milik sang ayah. Andrew amat senang bisa mengelola usaha peninggalan sang ayah.

Meski, kadang Andrew kerap dipandang sebelah mata oleh pelanggan. Bahkan, suatu ketika petugas pengawas kesehatan setempat mendatangi restoran karena mendapat laporan Judy mempekerjakan orang yang tidak layak.

Namun, dukungan datang pada Andrew di mana masyarakat membuat grup Facebook dengan nama 'Support Andrew' supaya lebih banyak lagi orang yang datang ke restoran itu dan tidak lagi menganggap Andrew dengan sebelah mata.

5. Colette, si pengusaha kue

Foto: Twitter/colletteycookie
Collette Divitto kerap ditolak saat melamar pekerjaan karena kodisinya yang mengidap down syndrome. Tapi siapa sangka, hal itulah yang membuat Colette punya ide membuat usaha kue.

Bisnisnya diberi nama 'Collettey's', dan dijalankan dengan bantuan sang ibu, Rosemary serta kakak perempuan Colette. Dengan produk andalan berupa kue dengan cokelat chip dan kayu manis yang diberi nama 'amazing cookie', kue bikinan Collette berikut pemiliknya menjadi tenar, meski baru sebatas di sekitaran tempat tinggal mereka.

Namun dari situs saja, Collette telah menerima pesanan kue mencapai 50.000 lebih.

6. Nicholas, si juara kontes kecantikan

Foto: ilustrasi/thinkstock
Sejak tahun 2011, Nicholas Moss sudah memenangkan lebih dari 50 kontes dan mendapat 100 mahkota dan selempang penghargaan.

Menurut ibunya, Elaine, setelah mengikuti kontes tersebut, kini Nicholas menjadi sosok yang ceria dan lebih percaya diri. Ia bahkan sudah tak pelit omong lagi seperti dulu.

Melihat transformasi yang terjadi pada putranya, Elaina menggelar kontes di mana anak dengan disabilitas pun amat diperbolekan untuk ikut. Kontes ini diharap bisa jadi ajang bagi anak disabilitas untuk menunjukkan bakatnya.
Halaman 2 dari 7
Yulissa Arescurenaga lahir dengan down syndrome. Kecintaannya pada menari tumbuh saat usianya 10 tahun. Di tahun 2008 Yulissa ikut kelas zumba dan saat itulah ia ingin menjadi instruktur zumba profesional.

Demi mencapai impiannya, Yulissa rajin berlatih zumba 6 jam sehari. Di tahun 2012, gadis 24 tahun ini berhasil menjadi instruktur zumba berlisensi. Bahkan, ia didapuk sebagai instruktur zumba dengan down syndrome pertama. Kini, Yulissa mengajar zumba di banyak tempat.

Ferdhi Ramadhan (21) yang akrab disapa Adi mengidap down syndrome karena ada kelainan genetik. Hal ini membuat Adi memiliki IQ di bawah rata-rata dan masalah kesulitan belajar.

Sang ibu, Ernim Ilyas (59), mengatakan Adi tetap semangat mengenyam pendidikan. Di tahun 2015 Adi ia berhasil menamatkan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bina Karya Insani. Tak berhenti di situ ia juga berhasil meraih beasiswa dari Kementerian Sosial untuk lanjut kuliah.

Berbagai tes sebagai persyaratan masuk perguruan tinggi pun diikuti oleh Adi. Jurusan yang menjadi pilihannya adalah program diploma Jaminan Mutu Pangan (JMP) di Institut Pertanian Bogor. Adi pun lulus seleksi dan meski kemampuan memahami teori kurang, Adi jago lho untuk pelajaran praktik.

"Adi sekarang bisa bikin sirop. Bisa bikin selai nanas," kata Adi yang ke depannya berencana membuat produk makanan sendiri yang dijual di warung keluarga.

Siti Amannah Paneh (19) atau Anna memang menunjukkan ketertarikan pada bidang musik, khususnya alat musik jimbe. Melihat itu, sang ibu, Pramuri Harumdani atau Muri (49), mendaftarkan Anna ke sanggar Jimbe. Apalagi sebelumnya Anna juga pernah tergabung dalam kelompok musik asuhan Dian Hadipranowo atau Dian HP.

"Berlatih jimbe sangat bermanfaat untuk Anna. Dengan berlatih jimbe, Anna bisa melatih konsentrasi dan belajar kerjasama tim," tutur Muri.

Saat ini, Anna bersekolah di sekolah khusus kemandirian. Di sekolah tersebut, para siswa yang kebanyakan mengalami Down Syndrome diajari cara merawat diri sehingga bisa hidup lebih mandiri.

Bersama sang kakak, remaja down syndrome bernama Andrew (20) ini mengelola restoran bernama Ankar's Hoagies milik sang ayah. Andrew amat senang bisa mengelola usaha peninggalan sang ayah.

Meski, kadang Andrew kerap dipandang sebelah mata oleh pelanggan. Bahkan, suatu ketika petugas pengawas kesehatan setempat mendatangi restoran karena mendapat laporan Judy mempekerjakan orang yang tidak layak.

Namun, dukungan datang pada Andrew di mana masyarakat membuat grup Facebook dengan nama 'Support Andrew' supaya lebih banyak lagi orang yang datang ke restoran itu dan tidak lagi menganggap Andrew dengan sebelah mata.

Collette Divitto kerap ditolak saat melamar pekerjaan karena kodisinya yang mengidap down syndrome. Tapi siapa sangka, hal itulah yang membuat Colette punya ide membuat usaha kue.

Bisnisnya diberi nama 'Collettey's', dan dijalankan dengan bantuan sang ibu, Rosemary serta kakak perempuan Colette. Dengan produk andalan berupa kue dengan cokelat chip dan kayu manis yang diberi nama 'amazing cookie', kue bikinan Collette berikut pemiliknya menjadi tenar, meski baru sebatas di sekitaran tempat tinggal mereka.

Namun dari situs saja, Collette telah menerima pesanan kue mencapai 50.000 lebih.

Sejak tahun 2011, Nicholas Moss sudah memenangkan lebih dari 50 kontes dan mendapat 100 mahkota dan selempang penghargaan.

Menurut ibunya, Elaine, setelah mengikuti kontes tersebut, kini Nicholas menjadi sosok yang ceria dan lebih percaya diri. Ia bahkan sudah tak pelit omong lagi seperti dulu.

Melihat transformasi yang terjadi pada putranya, Elaina menggelar kontes di mana anak dengan disabilitas pun amat diperbolekan untuk ikut. Kontes ini diharap bisa jadi ajang bagi anak disabilitas untuk menunjukkan bakatnya.

(rdn/up)

Berita Terkait