September: Wacana Kenaikan Harga Rokok

Kaleidoskop 2016

September: Wacana Kenaikan Harga Rokok

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Kamis, 05 Jan 2017 17:39 WIB
September: Wacana Kenaikan Harga Rokok
Foto: Ilustrator Andhika Akbarayansyah
Jakarta - Data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2011 menunjukkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah prevalensi perokok aktif tertinggi di dunia. Angka tersebut yakni 67 persen pria dan 2,7 persen wanita.

Besarnya jumlah perokok di Indonesia mendorong sejumlah peneliti untuk mencarikan solusi. Prof Hasbullah Thabrany dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia pun mengusulkan untuk menaikkan harga rokok.

Simpulan ini didasarkan atas survei yang dilakukan Thabrany pada bulan Januari 2016 silam. Saat itu ia melibatkan 1.000 responden di mana 40 persennya adalah perokok.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Thabrany, dalam survei tersebut, ia mengaku memberikan sejumlah opsi harga, mulai dari Rp 25 ribu hingga Rp 35 ribu. Akan tetapi nyatanya masyarakat mengaku masih mau membeli rokok dengan harga setinggi itu.

Barulah saat ia mengajukan angka Rp 50 ribu, masyarakat baru mempertimbangkan alasan untuk tidak membeli rokok. "72 Persen responden itu menyebut angka Rp 50 ribu," ungkapnya seperti diberitakan detikcom sebelumnya.

Angka ini dirasa tepat mengingat besarnya jumlah perokok didominasi oleh pelajar dan orang miskin. Bila rokok diberi harga tinggi, diharapkan hal ini dapat dicegah.

Ironisnya, data terbaru dari Badan Pusat Statistik menunjukkan rokok adalah kontributor terbesar pada angka kemiskinan di Indonesia, setelah beras.

Persentase sumbangan konsumsi rokok terhadap garis kemiskinan pada September 2016 mencapai 10,7 persen di perkotaan maupun di pedesaan. Angka tersebut naik dari rasio Maret 2016 di mana rokok menyumbang kemiskinan sebesar 9,08 persen di perkotaan dan 7,96 persen di pedesaan.

"Rokok ini dari waktu ke waktu harganya naik terus. Tapi kayaknya tidak ada yang komplain kalau rokok naik. Kalau harga beras yang naik protesnya dimana-mana," ujar Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto.

Baca juga: Wapres JK Setuju Harga Rokok Naik: Semua Tahu Bahaya Merokok

Ditambahkan Abdillah Ahsan, SE, M.SE dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dari hasil FGD (focus group discussion) yang dilakukan di 6 kota di Indonesia, upaya menaikkan harga rokok memang dirasa paling efektif dalam menurunkan jumlah perokok.

Terkait dengan daya beli masyarakat terhadap rokok, data Abdillah juga menyebutkan, 60 persen perokok di Indonesia mengonsumsi rokok dengan harga termahal. Ini artinya, rokok dengan harga termahal pun sebenarnya masih terjangkau oleh masyarakat.

"Berarti kan tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda peningkatan harga rokok. Rokok dinaikkan setinggi-tingginya, daya belinya pun masih ada," tutur Abdillah.

Terlebih bila usaha menaikkan harga rokok ini dibarengi dengan pelarangan iklan rokok. "Semua upaya preventif dari Kemenkes akan lebih efektif jika iklan rokok dilarang tayang. Iklan rokok sekarang gencar sekali. Di dunia internasional iklan rokok itu sudah tidak ada lho," ujar Abdillah.

Ia mengambil contoh Thailand yang dianggap telah berhasil mengurangi prevalensi perokok di wilayahnya dengan menaikkan harga rokok dan melarang iklan rokok di TV, kendati butuh waktu sekitar 20 tahun untuk menurunkan prevalensi perokok dari yang semula 30 persen menjadi tinggal 18 persen saja.

Meskipun demikian, Abdillah menilai produksi rokok di Thailand cenderung stabil dan tidak menurun, seperti yang ditakutkan industri rokok Indonesia. "Kekhawatiran pengendalian rokok akan berdampak pada industri tidak berdasar, lihat saja di Thailand," imbuhnya.

Baca juga: Lembaga Demografi FEUI: Harga Rokok Dinaikkan, Jumlah Perokok Bisa Turun
September: Wacana Kenaikan Harga RokokFoto: Ilustrator Andhika Akbarayansyah
(lll/vit)

Berita Terkait