Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), dr Hari Paraton, MD, SpOG(K), mengungkapkan di dalam tubuh manusia terdapat sekitar 90 triliun bakteri yang beberapa di antaranya sebenarnya sudah mengalami resistensi atau kekebalan. Di antaranya dari konsumsi obat-obatan sebelumnya, bisa dari resep dokter atau akibat membeli sendiri.
dr Hari mengakui masih banyak dokter yang tidak memahami betul tentang penggunaan antibiotik yang tepat. Di sisi lain, masyarakat awam juga terbiasa membeli obat sendiri di apotek. Bahkan dr Hari menambahkan, kurangnya pemahaman akan konsumsi antibiotik yang tepat juga terjadi di luar negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Begini Asal Mula Terjadinya Resistensi Antibiotik
Selain interaksi dengan obat, interaksi dengan pasien atau orang yang telah meminum antibiotik juga dapat memicu adanya resistensi antibiotik.
"Memang yang bersangkutan tidak sakit tapi menjadi carrier atau membawa bakteri resisten," ujar dr Hari dalam Pfizer Press Circle (PPC) tentang Resistensi Antibiotik di Hotel Wyndham Surabaya beberapa waktu lalu.
Ini berarti tim medis seperti dokter maupun perawat juga bisa dianggap sebagai carrier dari bakteri resisten karena keseharian mereka yang akrab dengan antibiotik.
Hal ini diperburuk dengan penggunaan antibiotik dalam industri, seperti pada peternakan ayam, sapi atau babi. Ketika hewan-hewan ini disuntik dengan antibiotik untuk mempercepat pertumbuhannya lalu daging mereka dikonsumsi oleh manusia, itu berarti meninggalkan residu antibiotik dalam tubuh manusia.
"Sama juga dengan air. Kotoran mereka yang masuk ke tanah, lalu air tanahnya diminum, sama juga dengan minum residu antibiotik," imbuh dr Hari.
Tetapi bukan berarti ini tidak bisa dicegah. Agar siklus perpindahan bakteri resisten ini bisa segera diputus, pasien atau pengunjung rumah sakit yang berinteraksi secara langsung dengan sesama pasien, dokter atau perawat disarankan untuk mencuci tangan sesudahnya.
"Makanya jangan lupa cuci tangan, ganti baju, terutama setelah berada di sarang-sarang antibiotik seperti ICU (Intensive Care Unit), untuk memutus transmisi residu antibiotiknya," pesan dr Hari.
Baca juga: Sembarangan Pakai Antibiotik, Seperti Ini Bahayanya
dr Hari mencatat, dalam sebuah penelitian yang diadakan di RSUD Dr Soetomo Surabaya, 76 persen kasus yang ditangani sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Angka ini hampir setara dengan catatan di skala nasional. Kasus yang tidak tertangani karena kekebalan terhadap antibiotik dulunya hanya 9 persen, namun di tahun 2016 diperkirakan telah melonjak menjadi 66 persen, utamanya di rumah sakit-rumah sakit besar.
Bila ini dibiarkan, dampaknya tak hanya bisa dirasakan dunia kesehatan, tetapi juga ekonomi global. Di dunia kesehatan, digadang-gadang akan terjadi peledakan infeksi yang diprediksi akan berlangsung di tahun 2050.
"Jadi operasinya berhasil, infeksinya yang nggak sehingga ancaman kematiannya tinggi dan biayanya menjadi mahal. Terlebih bakteri ini bisa melintas antarnegara, bisa melalui makanan ataupun orang," ujarnya.
Belum lagi angka kematian akibat resistensi antibiotik. Sayangnya di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian untuk menghitung angka ini.
"Kalau saya mencari padanan dengan Indonesia, kita ambil Thailand ya. Di sana sudah ada penelitian yang mengungkap angka kematian karena resistensi yang mencapai 38.000 kasus, dengan jumlah penduduk berkisar 70 juta orang. Ini berarti di Indonesia expected death-nya bisa mencapai 135.000 dari total penduduk berkisar 250 juta orang," pungkasnya. (lll/up)











































