Rata-rata dari mereka tidak hanya mengalami hambatan dalam pertumbuhan tetapi juga fitur wajah yang tidak beraturan, mobilitas terbatas, dan masalah pernapasan.
Bahkan karena kondisi ini sifatnya genetik, beberapa dari mereka adalah kakak beradik yang sama-sama mengidap MPS. Lalu bagaimana perjuangan mereka untuk tetap hidup? Berikut kisah beberapa pengidap MPS di seluruh dunia, seperti dirangkum detikHealth dari berbagai sumber, Jumat (26/5/2017).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Keenan Cahill
|
Foto: YouTube
|
Keenan didiagnosis sejak berumur 1 tahun dan telah menjalani transplantasi sumsum tulang di tahun 1997 untuk memperlambat perkembangan penyakitnya. Ini belum termasuk beberapa operasi lain seperti untuk mengurangi tekanan di otaknya.
Tiap minggunya, Keenan menjalani terapi penggantian enzim atau disebut terapi infusi, untuk menstabilkan gejalanya. Sayangnya Keenan harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membiayai pengobatan ini. Untuk itu, di tahun 2011 lalu ia membuat sebuah video bersama anggota tim baseball dari San Fransisco Giants, Cody Ross dan Brian Wilson membawakan lagu Dynamite milik Taio Cruz.
Lewat video ini, Keenan ingin meningkatkan kesadaran publik akan kondisinya sekaligus menggalang dana untuk pengobatannya. Rencananya Ross dan Wilson juga akan ambil bagian dalam sebuah acara amal yang diberi tajuk 'Dynamite: A Fundraiser for Keenan Cahill' dalam pertandingan melawan tim Florida Marlins.
2. Jason dan Justin Leider
|
Foto: Foxnews
|
Keduanya mengalami keterlambatan perkembangan. Kemampuan berjalan, mendengar dan berkomunikasi mereka juga terganggu. Tetapi Jason dan Justin tergolong beruntung karena bisa mendapatkan terapi infusi setiap minggunya di Hackensack University Medical Center, New Jersey, walaupun kedua orang tua mereka harus mati-matian mengumpulkan dana untuk itu.
"Mereka juga harus menjalani terapi fisik, terapi bicara, terapi okupasional sehari bisa sampai 4-5 jam. Belum lagi pemeriksaan secara menyeluruh, sehingga mereka tidak bisa beraktivitas layaknya anak-anak seumurannya," ungkap sang ibu, Deena.
3. Kaitie Francis
|
Foto: Adelaide Now
|
Penghargaan ini dirasa pantas diberikan untuk bocah yang saat ini berumur 12 tahun itu karena perjuangannya dalam menghadapi penyakitnya. Sebab untuk bisa bertahan hidup, bocah berkacamata ini tercatat telah menjalani lebih dari 30 operasi dan menempuh jarak puluhan kilometer untuk berobat, tanpa kenal lelah.
"Saya kira ia adalah anak paling luar biasa yang pernah saya temui. Bukan karena dia anak saya sendiri tapi apa yang telah dialaminya dalam 10 tahun terakhir, meski penyakit ini tak ada obatnya," kata sang ibu, Kimberlee.
Kimberlee pun merasa putrinya telah memberikan inspirasi bagi banyak orang. Untuk itu di tahun 2014, sebuah buku anak-anak bertajuk Kaitie the Courageous diluncurkan di Women's and Children's Hospital, Adelaide demi menyebarkan inspirasi tersebut.
4. Rachel Siew Suet Li
|
Foto: Facebook/Rachel Siew Suet Li Trust Fund
|
Tetapi Siew berhasil lulus dari perguruan tinggi. Namun sayangnya ia bergantung pada terapi infusi yang masih belum terjangkau olehnya. Di Malaysia, terapi ini sudah ada sejak dua tahun lalu, namun biayanya bisa mencapai 30.000 Ringgit Malaysia untuk tiap pekannya.
"Satu vial berisi 5 mg, harganya 4.000 Ringgit Malaysia, dan dosisnya bergantung pada berat dan tinggi pasien. Jadi saya membutuhkan 7 vial tiap minggunya, dengan biaya yang dibutuhkan sekitar 1,6 juta Ringgit Malaysia dalam setahun," tutur Siew.
Untungnya Januari lalu, kampusnya, Brickfields Asia College dan IACT College bekerjasama untuk menggalang dana bagi Siew yang bertujuan agar terapi infusi yang dibutuhkan Siew bisa tetap diperoleh.
Dari 60 pasien MPS yang tercatat di Malaysia, lanjut Siew, hanya 2 orang yang bisa terus mendapatkan pengobatan karena kendala biaya ini.
5. Jayant dan Rekha
|
Foto: Bangalore Mirror
|
Istimewanya, keduanya adalah seorang insyinyur dan kini sama-sama bekerja sebagai teknisi perangkat lunak di sebuah perusahaan IT di Bengaluru, India. Untungnya mereka selalu bekerja di shift yang berbeda, sehingga mereka perlu tidak berebut kursi roda.
Terlepas dari itu, mereka harus mendapatkan bantuan karena nyaris tak bisa melakukan apapun seorang diri. Padahal orang tua mereka juga sudah memasuki usia senja, sang ayah berumur 60 tahun dan ibunya 56 tahun. "Kami bahkan harus minta bantuan saat ingin ke kamar kecil atau makan, bahkan memegang laptop pun kami tak sanggup," kisah Jayanth.
Meski sudah berkeliling ke sejumlah rumah sakit di Bengaluru, sebagian besar dokter mengklaim tak bisa menangani mereka. Sejauh ini mereka hanya mengonsumsi obat pereda nyeri, kalsium, obat tetes mata dan telinga untuk meredakan gejalanya. Tiap enam bulan sekali, mereka harus menjalani MRI dan serangkaian pemeriksaan lain, tetapi mereka juga tak sanggup membiayai terapi infusi, yang itupun hanya ada di luar negeri.
Halaman 2 dari 6











































