4 Fakta Penting Seputar Hipertensi yang Sering Ditanyakan

4 Fakta Penting Seputar Hipertensi yang Sering Ditanyakan

Muhamad Reza Sulaiman - detikHealth
Kamis, 28 Sep 2017 13:10 WIB
4 Fakta Penting Seputar Hipertensi yang Sering Ditanyakan
Pertanyaan-pertanyaan ini sering ditanyakan ke dokter soal seputar penyakit hipertensi. Simak jawaban dan penjelasan dokter selengkapnya berikut ini. Foto: dok detikcom
Jakarta - Hipertensi adalah salah satu faktor utama yang dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke. Sayangnya menurut pakar, kewaspadaan soal penyakit ini masih tergolong rendah di masyarakat.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 oleh Kementerian Kesehatan, sekitar 26,5 persen penduduk dewasa Indonesia mengalami hipertensi. Sayangnya dari jumlah tersebut, 35,8 persen atau lebih dari sepertiganya tidak mengetahui bahwa mereka mengidap hipertensi.

"Hipertensi ini tergolong penyakit yang tidak bergejala. Tapi awareness masyarakat kita soal hipertensi juga masih tergolong rendah," ungkap dr Yuda Turana, SpS(K), Ketua Indonesian Society on Hypertension (INA-SH), baru-baru ini kepada detikHealth.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oleh karena itu, detikHealth pun merangkum beberapa fakta penting seputar hipertensi yang sering ditanyakan. Apa saja?

1. Penggunaan obat

Foto: thinkstock
Dikatakan dr Yuda, soal penggunaan obat hipertensi adalah pertanyaan paling umum yang sering diajukan pasien. Pasien hipertensi khawatir akan mengalami ketergantungan dan harus mengonsumsi obat seumur hidup.

Baca juga: Konsumsi Obat pada Pasien Hipertensi Tak Memicu Gagal Ginjal

Terkait penggunaan obat, dekan Fakultas Kedokteran Universita Atmajaya ini mengatakan harus ada perubahan pola pikir dari pasien. Pasien tidak mengalami ketergantungan obat, melainkan pasien membutuhkan obat untuk bisa mengontrol hipertensinya.

"Sampai saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan hipertensi ya. Penggunaan obat itu untuk mengontrol sehingga tidak terjadi kerusakan target organ karena hipertensinya," ungkap dr Yuda.

2. Batas ambang tensi

Foto: Thinkstock
Batas ambang tekanan darah yang bisa disebut hipertensi saat ini masih di angka 140 mm/Hg. Jika pemeriksaan tekanan darah menunjukkan angka tersebut, jangan ragu untuk memeriksakan diri ke dokter.

Baca juga: Tensi Tinggi tapi Tak Merasa Sakit Kepala? Ini Kata Dokter

Dokter biasanya akan melakukan diagnosis apakah hipertensi tergolong hipertensi primer atau sekunder.

"Hipertensi sekunder adalah tekanan darah tinggi yang terjadi karena penyebab lain, misalnya karena hipertiroid, efek obat atau adanya tumor. Sementara hipertensi primeradalah hipertensi yang belum diketahui penyebabnya," ungkap dr Yuda.

3. Perubahan gaya hidup

Foto: Thinkstock
Salah satu klaim yang lazim dikatakan pasien adalah perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat dapat membuat penggunaan obat berkurang. Menanggapi hal ini dr Yuda menyebut perubahan gaya hidup memang penanganan langkah pertama yang dianjurkan untuk pasien.

"Perubahan gaya hidup itu untuk pasien hipertensi grade 1 dan pre-hipertensi, jadi kita sarankan untuk yang tidak merokok, tidak minum alkohol, perbanyak makan sayur dan buah dan kendalikan stres," ujarnya.

Baca juga: Masih Muda Tapi Tensi Sering Tinggi? Waspada Hipertensi Sekunder

Namun jika penyakit hipertensi sudah lebih parah, hanya mengubah gaya hidup saja tidak akan bisa membuat pasien mengontrol tekanan darahnya. Karena itu penggunaan obat tetap harus dilakukan.

"Kalau sudah grade 2 kita kasih obat. Obatnya pun tidak sama untuk semua orang, tergantung kondisi apakah ada penyakit komorbid dan tingkap keparahan penyakitnya," ungkap dr Yuda.

4. Perbedaan hasil tensi

Foto: thinkstock
Perbedaan hasil tensi di rumah dan di klinik atau rumah sakit kerap membuat pasien bingung. Terkait hal ini, dr Yuda mengatakan memang ada kondisi demikian.

Hipertensi tersamar adalah kondisi di mana tekanan darah sering tinggi di rumah namun normal ketika diukur di rumah sakit atau dokter. Sementara hipertensi kerah putih adalah kondisi tekanan darah normal ketika di rumah, namun tinggi ketika di cek di dokter atau rumah sakit.

Baca juga: 6 Tips Agar Pemeriksaan Tensi di Rumah Lebih Akurat

Karena itu, dr Yuda mengingatkan pentingnya pengukuran tekanan darah secara mandiri dan berkala. Pemeriksaan tekanan darah di rumah diperlukan untuk mengetahui variabilitas atau variasi fluktuasi tekanan darah, karena fluktuasi yang berlebihan dapat menjadi tanda peringatan terhadap risiko penyakit jantung dan stroke.

"Jika angka hasil pemeriksaan tekanan darah di rumah lebih tinggi dari 135 mmHg atau terjadi fluktuasi yang lebar antara setiap hasil pemeriksanaan di rumah (pagi dan malam, atau hari ke hari), segera konsultasikan ke dokter," tuturnya.

Halaman 2 dari 5
Dikatakan dr Yuda, soal penggunaan obat hipertensi adalah pertanyaan paling umum yang sering diajukan pasien. Pasien hipertensi khawatir akan mengalami ketergantungan dan harus mengonsumsi obat seumur hidup.

Baca juga: Konsumsi Obat pada Pasien Hipertensi Tak Memicu Gagal Ginjal

Terkait penggunaan obat, dekan Fakultas Kedokteran Universita Atmajaya ini mengatakan harus ada perubahan pola pikir dari pasien. Pasien tidak mengalami ketergantungan obat, melainkan pasien membutuhkan obat untuk bisa mengontrol hipertensinya.

"Sampai saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan hipertensi ya. Penggunaan obat itu untuk mengontrol sehingga tidak terjadi kerusakan target organ karena hipertensinya," ungkap dr Yuda.

Batas ambang tekanan darah yang bisa disebut hipertensi saat ini masih di angka 140 mm/Hg. Jika pemeriksaan tekanan darah menunjukkan angka tersebut, jangan ragu untuk memeriksakan diri ke dokter.

Baca juga: Tensi Tinggi tapi Tak Merasa Sakit Kepala? Ini Kata Dokter

Dokter biasanya akan melakukan diagnosis apakah hipertensi tergolong hipertensi primer atau sekunder.

"Hipertensi sekunder adalah tekanan darah tinggi yang terjadi karena penyebab lain, misalnya karena hipertiroid, efek obat atau adanya tumor. Sementara hipertensi primeradalah hipertensi yang belum diketahui penyebabnya," ungkap dr Yuda.

Salah satu klaim yang lazim dikatakan pasien adalah perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat dapat membuat penggunaan obat berkurang. Menanggapi hal ini dr Yuda menyebut perubahan gaya hidup memang penanganan langkah pertama yang dianjurkan untuk pasien.

"Perubahan gaya hidup itu untuk pasien hipertensi grade 1 dan pre-hipertensi, jadi kita sarankan untuk yang tidak merokok, tidak minum alkohol, perbanyak makan sayur dan buah dan kendalikan stres," ujarnya.

Baca juga: Masih Muda Tapi Tensi Sering Tinggi? Waspada Hipertensi Sekunder

Namun jika penyakit hipertensi sudah lebih parah, hanya mengubah gaya hidup saja tidak akan bisa membuat pasien mengontrol tekanan darahnya. Karena itu penggunaan obat tetap harus dilakukan.

"Kalau sudah grade 2 kita kasih obat. Obatnya pun tidak sama untuk semua orang, tergantung kondisi apakah ada penyakit komorbid dan tingkap keparahan penyakitnya," ungkap dr Yuda.

Perbedaan hasil tensi di rumah dan di klinik atau rumah sakit kerap membuat pasien bingung. Terkait hal ini, dr Yuda mengatakan memang ada kondisi demikian.

Hipertensi tersamar adalah kondisi di mana tekanan darah sering tinggi di rumah namun normal ketika diukur di rumah sakit atau dokter. Sementara hipertensi kerah putih adalah kondisi tekanan darah normal ketika di rumah, namun tinggi ketika di cek di dokter atau rumah sakit.

Baca juga: 6 Tips Agar Pemeriksaan Tensi di Rumah Lebih Akurat

Karena itu, dr Yuda mengingatkan pentingnya pengukuran tekanan darah secara mandiri dan berkala. Pemeriksaan tekanan darah di rumah diperlukan untuk mengetahui variabilitas atau variasi fluktuasi tekanan darah, karena fluktuasi yang berlebihan dapat menjadi tanda peringatan terhadap risiko penyakit jantung dan stroke.

"Jika angka hasil pemeriksaan tekanan darah di rumah lebih tinggi dari 135 mmHg atau terjadi fluktuasi yang lebar antara setiap hasil pemeriksanaan di rumah (pagi dan malam, atau hari ke hari), segera konsultasikan ke dokter," tuturnya.

(mrs/up)

Berita Terkait