Mengapa Ada Ibu Tega Bakar Anaknya? Begini Kata Psikolog

Mengapa Ada Ibu Tega Bakar Anaknya? Begini Kata Psikolog

Khadijah Nur Azizah - detikHealth
Rabu, 24 Okt 2018 16:18 WIB
Mengapa Ada Ibu Tega Bakar Anaknya? Begini Kata Psikolog
Mental yang tidak stabil jadi alasan mengapa seorang ibu tega membakar anaknya. (Foto: Thinkstock)
Jakarta - Olga Semet dari Desa Pintareng, Kecamatan Tabukan Selatan Tenggara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara tega membakar dua anaknya pada 12 September 2018 lalu. Dikabarkan bahwa Olga saat itu kesal karena anak tidak menjawab saat ditanya.

Pada akhirnya salah satu anak meninggal dunia setelah berjuang dengan kondisi luka bakar 85 persen di RS PICU Kandaou Manado. Sang anak sudah dirawat selama lebih dari satu bulan.

Menanggapi kasus ini psikolog anak dan remaja dari RaQQi Human Development and Learning Center, Ratih Zulhaqqi, berkomentar bahwa ada beberapa kemungkinan yang bisa membuat seorang ibu melukai anak kandungnya sendiri. Apa saja itu? Berikut penjelasannya:

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Depresi pasca-melahirkan

Foto: Thinkstock
Sindrom depresi pasca-melahirkan atau postpartum depression bisa dialami oleh semua ibu. Penyebabnya bisa karena faktor genetik tapi bisa juga karena faktor psikologi yang sudah ada sebelumnya yang membuat naik turun emosi seorang ibu usai melahirkan semakin parah.

"Kasus orangtua yang depresi bisa lakukan tindakan seperti itu. Latar belakangnya memang banyak, tapi lebih pastinya karena adanya ketidakseimbangan secara emosi sehingga memicu tindakan irasional," kata Ratih.

Halusinasi

Foto: thinkstock
Beberapa penyakit kejiwaan bisa membuat seseorang mengalami halusinasi. Mungkin saja seorang ibu dengan kondisi tersebut mengalami halusinasi suara yang mendorongnya untuk melakukan hal-hal tidak masuk akal termasuk mencelakai anak sendiri.

Pengelolaan stres buruk

Foto: thinkstock
Semua mahluk yang bernyawa bisa mengalami stres dan hal tersebut merupakan reaksi wajar saat menghadapi krisis. Hanya saja kadang stres ini tidak dikelola dengan baik hingga jadi kondisi kronis dan akhirnya berujung depresi.

Bila sudah depresi maka dorongan untuk melakukan tindakan yang irasional bisa bermunculan.

"Cara mengelolanya adalah salah satunya lewat manajemen diri, manajemen waktu. Yang paling utama itu biasanya waktu karena ibu ibuasanya diburu-buru itu kan bisa membuat makin stres. Jadi ketika dia tidak bisa mengelola waktu bisa stres," kata Ratih.

Ekspektasi tidak terpenuhi

Foto: Ilustrasi/ Thinkstock
Satu hal yang juga sering memicu stres pada seorang ibu yang kemudian bisa berujung depresi adalah ketika ekspektasi tidak terpenuh. Menurut Ratih sebagai contoh ibu mungkin menginginkan rumah selalu dalam keadaan rapi tapi karena kesibukan hal tersebut sulit dicapai.

Ekspektasi-ekspektasi yang tidak terpenuhi tersebut akan semakin menambah beban pikiran dan memperparah kondisi mental seorang ibu.

"Kadang-kadang ibu stres karena apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Padahal yang namanya hidup apalagi mengerjakan pekerjaan ruma kita bisa saja enggak tercapai target. Harus evaluasi lagi," pungkas Ratih.

Halaman 2 dari 5
Sindrom depresi pasca-melahirkan atau postpartum depression bisa dialami oleh semua ibu. Penyebabnya bisa karena faktor genetik tapi bisa juga karena faktor psikologi yang sudah ada sebelumnya yang membuat naik turun emosi seorang ibu usai melahirkan semakin parah.

"Kasus orangtua yang depresi bisa lakukan tindakan seperti itu. Latar belakangnya memang banyak, tapi lebih pastinya karena adanya ketidakseimbangan secara emosi sehingga memicu tindakan irasional," kata Ratih.

Beberapa penyakit kejiwaan bisa membuat seseorang mengalami halusinasi. Mungkin saja seorang ibu dengan kondisi tersebut mengalami halusinasi suara yang mendorongnya untuk melakukan hal-hal tidak masuk akal termasuk mencelakai anak sendiri.

Semua mahluk yang bernyawa bisa mengalami stres dan hal tersebut merupakan reaksi wajar saat menghadapi krisis. Hanya saja kadang stres ini tidak dikelola dengan baik hingga jadi kondisi kronis dan akhirnya berujung depresi.

Bila sudah depresi maka dorongan untuk melakukan tindakan yang irasional bisa bermunculan.

"Cara mengelolanya adalah salah satunya lewat manajemen diri, manajemen waktu. Yang paling utama itu biasanya waktu karena ibu ibuasanya diburu-buru itu kan bisa membuat makin stres. Jadi ketika dia tidak bisa mengelola waktu bisa stres," kata Ratih.

Satu hal yang juga sering memicu stres pada seorang ibu yang kemudian bisa berujung depresi adalah ketika ekspektasi tidak terpenuh. Menurut Ratih sebagai contoh ibu mungkin menginginkan rumah selalu dalam keadaan rapi tapi karena kesibukan hal tersebut sulit dicapai.

Ekspektasi-ekspektasi yang tidak terpenuhi tersebut akan semakin menambah beban pikiran dan memperparah kondisi mental seorang ibu.

"Kadang-kadang ibu stres karena apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Padahal yang namanya hidup apalagi mengerjakan pekerjaan ruma kita bisa saja enggak tercapai target. Harus evaluasi lagi," pungkas Ratih.

(fds/up)

Berita Terkait