Namun di mata dokter jiwa, cara ekstrem tersebut menyiratkan ada banyak kemungkinan di belakangnya. Salah satunya adalah rasa tidak aman (insecurity) pada diri pelaku karena merasa tidak cukup kompeten atau percaya diri. Pelaku merasa harus melakukan sesuatu yang luar biasa hingga membuat orang lain percaya kemampuannya.
"Apa iya harus sampai makan kucing? Bergantung dari dampak atau lompatan yang ingin ditimbulkan. Semakin ekstrem biasanya makin menarik perhatian lingkungan sekitar. Jika ada rasa tertarik atau muncul respon sesuai keinginan pelaku, maka tujuan dari perilaku itu tercapai," kata dr Lahargo Kembaren, SpKJ dari Rumah Sakit Dr H Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor, Rabu (31/7/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemungkinan kedua adalah memori masa kecil yang tidak mendapat cukup apresiasi dari orangtua atau lingkungan sekitar. Hal ini menyebabkan pelaku menjadi seorang attention seeker demi memenuhi keinginan dihargai dan diperhatikan.
Kemungkinan ketiga adalah dorongan ingin diterima kelompok dan lingkungan sekitar. Faktor ini terkait juga dengan rasa insecurity dari pelaku.
"Dalam kasus Abah Grandong, perasaan diterima adalah ketika tujuan atau pesan dari perilakunya tercapai. Misal pedagang yang menempati lahan tersebut segera pergi," ujar dr Lahargo.
Abah Grandong yang bekerja sebagai keamanan, bertugas mengusir pedagang yang menempati sebuah lahan. Salah satu pedagang menolak mematikan lampu dan pergi dari lahan tersebut.
"Nah salah satu warung nggak mau matikan lampu. Lalu dia unjuk gigilah bahwa dia punya kekuatan bisa makan kucing segala," kata Kapolsek Kemayoran Kompol Syaiful Anwar dikutip dari detikcom.
(up/up)











































