Mereka menyampaikannya dalam demo di jalanan ibukota Nairobi, bertajuk Act on Cancer Today. Keluhan mereka adalah lamanya penundaan yang disebabkan kekurangan pengobatan yang mudah diakses dan dijangkau mengakibatkan memburuknya kondisi pasien.
Dilaporkan BBC, kematian kanker baru-baru ini sangat menyedihkan jika melihat fakta hanya ada 35 dokter onkologi untuk 40 juta jiwa di Kenya. Yang berarti, tiap dokter menangani 3.000 kasus kanker.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah telah berjanji akan membangun pusat-pusat kemoterapi dan radioterapi, namun bagi kebanyakan warga Kenya, harganya terlalu mahal. Untuk mereka yang mampu, umumnya lebih memilih berobat di luar negeri misalnya India.
Screening kanker juga seringnya terlambat dan untuk mendapatkan diagnosis bisa menjadi tantangan tersendiri. Apalagi di daerah-daerah terpencil, informasi sangat kurang dan timpang dengan banyaknya mitos, kesalahpahaman dan juga stigma.
Diperkirakan 70-80 persen pasien terdiagnosis kanker di Kenya sudah dalam stadium lanjut. Tak hanya itu, Kenya juga harus 'ditumpangi' beban kanker dari negara tetangga seperti Sudan Selatan yang tak memiliki satupun dokter onkologi dan satu-satunya penanganan yang ada hanyalah operasi.
Rumah sakit rujukan Kenyatta yang hanya memiliki tiga mesin radioterapi juga melayani pasien dari Uganda, Burundi, Rwanda dan Sudan Selatan. Hal ini menyebabkan waktu tunggu menjadi lama. Sayangnya lagi, warga juga harus masih melewati ratusan kilometer untuk mengakses layanan di rumah sakit rujukan.
(frp/up)











































