Di media sosial viral curhatan seorang suami bernama Erlangga Agusta tentang pengalaman istrinya saat melahirkan di tengah pandemi virus Corona. Kisah ini ia bagikan melalui akun Twitter pribadi miliknya @AnggaAgusta, Minggu (3/5/2020).
Sebelum melakukan proses persalinan, ia menceritakan bahwa istrinya dinyatakan positif COVID-19 setelah dilakukan tes corona dengan cara rapid test oleh pihak rumah sakit. Namun Erlangga merasa kurang yakin dengan hasil tes tersebut, sehingga ia meminta dokter untuk melakukan rapid test ulang, CT scan, dan tes swab kepada istrinya.
"Dokter kemudian menginfokan hasil rapid test istri positif COVID," tulis Erlangga dalam tweetnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jam 3 sore dokter dari tim COVID datang untuk visit dan cek kondisi istri. Dokter sudah mulai menggunakan APD lengkap dan gw masih coba jelasin kenapa gw ga yakin dengan hasil Rapid Test dan minta Test ulang," jelasnya.
Hingga akhirnya tak lama anaknya berhasil dilahirkan melalui operasi caesar, dokter pun memberitahu Erlangga bahwa hasil rapid test kedua milik istrinya adalah negatif COVID-19.
"Gw dipanggil dokter dan diinfokan hasil Rapid Test istri negatif. Gw jd makin yakin bahwa hasil Rapid Test kemarin salah," ujarnya.
Lantas sebenarnya seberapa akurat tes corona dengan cara rapid test?
Menurut Direktur Laboratorium Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio, tingkat sensitivitas rapid test dalam pengujian tes corona hanya 70-90 persen.
"Rapid test kan yang dites adalah antibodi dan jenisnya banyak sekali. Itu sensitivitas dan rangenya agak lebar, ada yang bisa sampai 90 persen dan ada juga yang cuma 70 persen," kata Prof Amin kepada detikcom, Senin (4/5/2020).
"Artinya dari sepuluh kasus positif, cuma tujuh yang bisa terdeteksi," lanjutnya.
Prof Amin juga menjelaskan kemungkinan yang terjadi apabila hasil rapid test awal dinyatakan reaktif (positif), dan yang kedua kalinya justru non-reaktif (negatif) adalah karena adanya kesalahan pada bahan kimia yang digunakan dalam alat uji tersebut.
"Mungkin karena bahan kimianya yang kurang baik sehingga siapa pun yang dites pakai itu bisa positif. Jadi tesnya itu memang ada kesalahan," ucapnya.
Karena itu menurutnya rapid test tidak bisa dilakukan hanya sekali. Sebab tingkat sensitivitasnya yang kurang dan berbeda dengan tes polymerase chain reaction (PCR) yang sudah terbukti akurat dalam mendeteksi virus Corona.
Kalau (hasilnya) reaktif harusnya dikonfirmasi dengan PCR itu wajib. Kalau yang tidak reaktif harus diulang beberapa hari kemudian, harusnya dites dengan alat yang sama," tuturnya.
(kna/kna)











































