Sempat tersiar kabar bahwa alat Rapid Test Antigen CePAD besutan Universitas Padjadjaran (Unpad) sudah melebihi standar World Health Organization (WHO) terkait sensitivitasnya. Tim ahli meluruskan klaim tersebut.
Awalnya, klaim soal efektivitas yang melebihi standar WHO tersebut disampaikan oleh Direktur Inovasi dan Korporasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Diana Sari dalam sebuah acara yang digelar secara daring.
"Kalau kita melihat di sini tingkat akurasinya 91,5 persen dengan sensitivitas 85 persen. Yang direkomendasikan WHO 80 persen, artinya kita sudah melebihi itu," kata Diana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koordinator Riset CePAD Muhammad Yusuf mengatakan saat ini CePAD memang telah memenuhi persyaratan sensitivitas dari WHO. Namun ditegaskan, standar dari segi spesifikasi masih belum tercapai. Adapun, informasi yang beredar soal melebihi standar WHO merupakan bentuk miskomunikasi dan disinformasi.
"Kemarin kami tidak hadir di acara sehingga terjadi disinformasi dan miskomunikasi dari data yang kami berikan. Kami dari inventor mengetahui lebih jelas latar belakangnya, jadi data terbarunya itu sensitivitasnya 80 sudah memenuhi persyaratan sensitivitas WHO, sudah sesuai. Tapi spesifikitasnya sedang kami upayakan dan masih ditingkatkan," ujar Yusuf saat dihubungi detikcom, Senin (11/1/2021).
Dia mengatakan, CePAD mulai diteliti sejak April-Mei 2020 sebelum WHO merekomendasikan Rapid Test Antigen pada September 2020. Saat itu, kata dia, antigen detection belum direkomendasikan WHO, karena sensitifitasnya rendah jika dibandingkan dengan PCR.
"Seiring waktu, karena kenyatannya, implementasi PCR sulit diterapkan diseluruh negara karena semakin sulit didapat akhirnya WHO me review ulang dan merekomendasikan antigen ketika di daerah tersebut tidak ada PCR atau kesulitan PCR," ujar Yusuf.
Kembali ke CePAD, alat Rapid Test Antigen pertama buatan anak bangsa ini, terbaru memiliki sensitivitas 80 persen dengan spesifikitas 94,3 persen. Standar WHO menyebut, alat antigen minimal memiliki standar sensitivitas 80 persen dan spesifikitas 97 persen.
Yusuf mengakui, dari segi standar CePAD memang pernah menyentuh angka 85 persen melebihi standar WHO, hanya saja itu data dua pekan yang lalu. "Sebelumnya memang lebih tapi setelah divalidasi dan dikembangkan lagi (dengan) diperbanyak sampelnya, sensitivas menurun tapi spesifikasinya naik dari asal 80 sudah naik menjadi 94,3 persen," jelasnya.
"Ini kan antigen dalam negeri, sedangkan yang direkomendasikan WHO itu ada empat. Kalau kami prinsipnya sudah bisa bekerja sesuai dengan fungsinya yaitu mendeteksi antigen," sambung Yusuf.
Dia menjelaskan, perbedaan dua standar yang disyaratkan WHO tersebut. Pertama, sensitivitas artinya seberapa baik kemampuan alat untuk mendeteksi virus. Sementara spesifik seberapa baik membedakan orang yang sakit COVID-19 atau tidak. "Jadi kalau hasil yang keluar positif, ini meyakinkan kalau dia benar karena covid bukan karena penyakit yang lain," jelasnya.
"CePAD yang dikembangkan oleh kami itu betul-betul dari awal, sensitivitas itu bahkan dari nol persen kemudian naik lagi, sampai akhirnya kita di 80 persen. Dari sisi sensitivitas kita sudah mengantongi izin untuk menjadi antigen. Sementara dari spesifikitas juga sama sampai kemarin itu mencapai 93 persen. Jadi, sebenarnya ada bahasa memenuhi standar WHO itu adalah ketika bercerita perjalanannya dari nol sampai 80 persen. Ini challenge berikutnya, kami inginnya dalam waktu dekat bisa memenuhi kedua syarat WHO sehingga bisa direkomendasikan juga oleh WHO," pungkasnya.
Simak Video "Video: Sembuh dari Covid Bukan Berarti Aman"
[Gambas:Video 20detik]
(up/up)











































