Benarkah RS COVID-19 di Yogyakarta Penuh? Ini Kata Sultan

Benarkah RS COVID-19 di Yogyakarta Penuh? Ini Kata Sultan

Pradito Rida Pertana - detikHealth
Senin, 18 Jan 2021 22:12 WIB
Benarkah RS COVID-19 di Yogyakarta Penuh? Ini Kata Sultan
Virus Corona di Yogyakarta (Foto: PIUS ERLANGGA)
Yogyakarta -

Maraknya isu pasien-pasien terkonfirmasi COVID-19 di IGD untuk menunggu rawat inap di rumah sakit rujukan COVID-19 mendapatkan tanggapan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X. Sultan menyebut hal itu karena tidak semua RS bisa menangani COVID-19.

"Gini ya, saya kemarin sudah punya rapat koordinasi ya. Dengan Kabupaten Kota jadi saya berharap mungkin juga bisa dibantu teman-teman wartawan yang mengatakan tidak ada tempat itu (untuk pasien COVID-19) masuk daftar keputusan Gubernur atau Kepala Daerah nggak," kata Sultan saat ditemui wartawan di Kompleks Kantor Gubernur DIY, Kemantren Danurejan, Kota Yogyakarta, Senin (18/1/2021).

Pasalnya tidak semua RS di DIY bisa menangani pasien COVID-19. Karena itu, Sultan menilai pasien yang belum mendapatkan ruang rawat inap lantaran rumah sakit yang dituju belum bisa menangani COVID-19 secara maksimal. Terlebih rumah sakit rujukan COVID-19 yang bukan milik pemerintah hanya memiliki kapasitas tempat tidur yang sedikit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karena (rumah sakit) yang kecil-kecil yang tidak masuk dalam keputusan itu memang bukan untuk mereka menangani COVID-19. Yang tidak terdaftar itu belum mampu menangani COVID-19, jadi tidak masuk," katanya.

"Yang kedua kalau masuk itu rata-rata hanya 10 persen (alokasi RS untuk COVID-19) jadi kalau kamar 20 nek 10 persen ya kan hanya 2 kan gitu. Sudah isi dua (pasien) yawis (yasudah)," lanjut Sultan.

ADVERTISEMENT

Terlebih, untuk RS swasta tidak ada kewajiban untuk menambah tempat tidur lebih dari 20 persen dari kapasitas RS. Selain itu, RS swasta terbebani lamanya menagih uang operasional ke BPJS Kesehatan.

"Karena ini pendapat saya pribadi kalau swasta itu memang tidak ada keharusan hanya 10 persen dari kamar yang ada. Nek COVID-19 kan ndadak nagih di BPJS. Ning nak diisi penyakit lain kan uang cash gitu," ujarnya.

"Kalau (RS) milik pemerintah itu tidak ada masalah karena minimum 40 persen harus digunakan untuk COVID-19. Kira-kira gini, makanya dengan kekurangan saya lebih mudah untuk dimiliki pemerintah," imbuhnya.

Misalnya, 40 persen itu hanya 75 bed yang di RSUP Sardjito sekarang bisa ditingkatkan menjadi 115 bed. Sedangkan untuk di RSPAU Hardjolukito sudah ada tambahan di gedung yang baru sebanyak 105 bed.

"Jadi sebetulnya tidak ada masalah. Saya tidak tahu persis yang di rumah sakit milik daerah (Kabupaten). Hanya seperti kasus kemarin di sleman karena ada dokter merawat yang juga dari rumah sakit bersangkutan juga nginap di situ sedangkan OTG," ucapnya.

Padahal, semestinya OTG tidak perlu rawat inap di rumah sakit karena BPJS tidak akan dibayar menggunakan APBD. Sehingga lebih baik melakukan isolasi di shelter biarpun itu dibiayai oleh Pemda, tapi setidaknya hal tersebut tidak memenuhi bed RS untuk pasien COVID-19.

"Hal seperti ini kita tertibkan. OTG itu tidak perlu ke rumah sakit. Diisolasi gitu lho. Ngebak-ngebaki makannya sekarang saya minta untuk hal seperti itu dilakukan yang ada di Kabupaten Kota. OTG jangan kemenuhi bed di rumah sakit. Yang bayar APBD karena BPJS nggak bisa bayar," katanya.

Karena itu Ngarsa Dalem mempertanyakan adanya pasien COVID-19 yang kesulitan mendapatkan layanan rawat inap di RS rujukan.

"Saya punya pertanyaan ini hoaks apa ada orang yang kesulitan betul (dapat bed). Bed kesulitan neng rumah sakit opo kalau di (RS) swasta yang bersedia itu hanya 10 persen untuk menyediakan bednya kalau makin tinggi prsentasi berarti dia kan duitnya perputarannya jadi lambat karena harus nagih di BPJS. Kalau penyakit lain cash," ucapnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Sembuh dari Covid Bukan Berarti Aman"
[Gambas:Video 20detik]
(up/up)

Berita Terkait