Vaksin COVID-19 Sputnik V buatan Rusia sempat membuat heboh karena kabar pengembangannya yang begitu cepat. Vaksin ini mendapatkan izin pemakaian dan diumumkan oleh otoritas Rusia pada pertengahan 2020, sebelum melalui proses uji klinis fase tiga.
Kala itu komunitas peneliti dan juga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendorong agar vaksin Sputnik V menjalani uji klinis yang sesuai terlebih dahulu. Hingga akihrnya pada 2 Februari 2021, hasil analisis data interim dalam jurnal The Lancet menemukan vaksin COVID-19 Sputnik V memiliki nilai efikasi sampai 91,6 persen dengan efek samping yang tidak berbahaya.
"Pengembangan vaksin Sputnik V banyak mendapat kritikan karena tampak terburu-buru, mengambil jalan singkat, dan tidak transparan," komentar peneliti bernama Ian Jones and Polly Roy dalam jurnal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi hasil akhir dalam laporan jurnal ini jelas dan prinsip pengembangan vaksin yang ilmiah sudah diterapkan. Artinya kini ada satu jenis vaksin lain lagi yang bisa bergabung dalam upaya mengurangi insiden COVID-19," lanjut peneliti seperti dikutip dari BBC, Senin (8/3/2021).
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan Kementerian Kesehatan Rusia sudah mengajukan vaksin Sputnik V untuk masuk ke dalam emergency use listing (EUL).
Sejauh ini baru ada dua jenis vaksin COVID-19 yang mendapat EUL, yaitu vaksin buatan Pfizer-BioNTech dan AstraZeneca-Oxford. Vaksin yang mendapat EUL dianggap sudah memenuhi standar internasional sehingga bisa digunakan oleh negara-negara.
"Saya berdiskusi konstruktif dengan Menteri Kesehatan Rusia, Mihail Murashko, tentang respons COVID-19 global dan juga vaksin Sputnik V terkait proses EUL WHO untuk vaksin. Saya mengapresiasi investasi Rusia pada ilmu pengetahuan," kata Tedros di akun Twitternya.
(fds/up)











































