Fakta-fakta Hiperendemi yang Bakal Dihadapi RI Selepas Pandemi COVID-19

Terpopuler Sepekan

Fakta-fakta Hiperendemi yang Bakal Dihadapi RI Selepas Pandemi COVID-19

Vidya Pinandhita - detikHealth
Minggu, 29 Agu 2021 12:05 WIB
Fakta-fakta Hiperendemi yang Bakal Dihadapi RI Selepas Pandemi COVID-19
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Pandemi COVID-19 di Indonesia disebut akan berubah menjadi hiperendemi. Menurut ahli, hal tersebut disebabkan respons atau penanganan yang dilakukan belum berhasil menekan dan menyetop penularan.

"Indonesia kelihatannya akan mengalami long pandemi," jelas Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra pada detikcom, Kamis (26/8/2021).

"Kalau saja pandemi itu akan dicabut oleh WHO setelah mengevaluasi pengaruhnya di dunia di berbagai benua dan negara, Indonesia ya potensial terjadi hiperendemi ya," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam kesempatan lainnya, ahli epidemiologi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), dr Masdalina Pane menjelaskan Indonesia sebenarnya sudah lama berhadapan dengan hiperendemi akibat Tuberkulosis (TB atau TBC). Setiap tahun, Indonesia masuk ranking tiga besar negara dengan kasus TBC terbanyak di dunia.

"Terkait statement bahwa kita akan hidup bersama COVID, bukan hal yang baru. Ribuan tahun manusia hidup dengan penyakit menular, bahkan 17 bulan ini kita sudah hidup bersama COVID-19. Biasa saja itu, bukan sesuatu yang aneh," ujarnya pada detikcom, Kamis (26/8/2021).

ADVERTISEMENT

Apa yang harus disiapkan?

Sama seperti penanganan TBC, dr Pane menegaskan pemerintah RI perlu menyiapkan road map atau perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang untuk penanganan COVID-19 yang kini dikhawatirkan berpotensi menyebabkan hiperendemi.

Menurutnya, road map tersebut perlu mencakup target Indonesia bisa memproduksi alat tes dan vaksin COVID-19 secara mandiri. Fasilitas kesehatan juga harus mencapai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Dalam road map itu harus berisi apa yang harus dilakukan masyarakat, artinya kalau kita masih hiperendemi maka pembatasan-pembatasan masih akan tetap ada. Kemudian 3M masih harus tetap dilakukan, 3T masih harus tetap berjalan," jelas dr Pane.

"Bukan sekedar membuat aplikasi, membuat protokol-protokol kesehatan saja, selama ini sudah banyak sekali protokol yang dibuat. Pertanyaannya apakah dilaksanakan atau hanya sekedar protokol saja," sambungnya.

Bisakah ditolong dengan vaksinasi? Selengkapnya di halaman berikut.

Tonton juga: Dita, Wanita 'Istimewa' Terlahir Tanpa Rahim

[Gambas:Video 20detik]



Bisakah ditolong dengan vaksinasi?

Penemuan vaksin dan obat disebut dr Pane sebagai salah satu faktor pengendalian pandemi. Menurut WHO, herd immunity terbentuk jika vaksinasi COVID-19 dunia sudah mencapai 70 persen dan masuk tahap endemi.

Negara yang belum mencapai angka tersebut akan disebut mengalami hiperendemi. Artinya, pada populasi wilayah tersebut masih mengalami kejadian penyakit atau penyebaran virus lebih tinggi dibanding endemi.

"Untuk negara-negara yang angkanya belum memenuhi angka yang tadi, kita sebut sebagai hiperendemi. Artinya dia masih punya pekerjaan rumah untuk terus mengendalikan itu sampai dengan angkanya terkendali," ujar dr Pane.

"Apa dampaknya kalau belum terkendali? Tentu pembatasan-pembatasan terus akan dilakukan. Negara-negara lain juga akan terus mengamati. Jangan sampai kita ditolak masuk ke negara lain atau menjadi negara yang termasuk diberi 'travel warning' oleh negara-negara lain," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(vyp/up)

Berita Terkait