Fakta-fakta Molnupiravir, Obat COVID-19 yang Bakal Dipakai RI Januari 2022

Fakta-fakta Molnupiravir, Obat COVID-19 yang Bakal Dipakai RI Januari 2022

Maulida Balqis - detikHealth
Selasa, 28 Des 2021 14:30 WIB
Fakta-fakta Molnupiravir, Obat COVID-19 yang Bakal Dipakai RI Januari 2022
Molnupiravir (Foto: Getty Images/iStockphoto/Zerbor)
Jakarta -

Molnupiravir disebutkan akan mulai digunakan sebagai obat COVID-19 pada Januari 2022 di Indonesia. Obat ini akan didatangkan dari perusahaan farmasi Merck pada akhir tahun ini.

Obat yang telah dilegalkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) per 23 Desember 2021 ini telah terbukti secara signifikan dapat mengurangi tingkat rawat inap dan kematian pada pasien COVID-19.

Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui mengenai Molnupiravir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa itu Molnupiravir?

Dikutip dari laman resmi FDA, Molnupiravir merupakan obat antivirus pertama yang dapat diminum secara oral untuk digunakan dalam melawan COVID-19.

Obat yang awalnya dikembangkan untuk mengobati flu ini bisa diberikan kepada pasien COVID-19 dengan gejala ringan hingga sedang selama 5 hari setelah muncul gejala.

ADVERTISEMENT

Molnupiravir diketahui tak boleh digunakan secara bebas. Molnupiravir hanya boleh digunakan dengan resep dokter dan sebaiknya digunakan sesegera mungkin setelah terkonfirmasi positif COVID-19 atau dalam waktu lima hari sejak gejala muncul.

Molnupiravir dapat diberikan dalam empat kapsul 200 miligram. Pasien dianjurkan meminumnya setiap 12 jam selama lima hari, dengan total 40 kapsul. Sebagai catatan, obat ini tidak diizinkan untuk digunakan lebih dari lima hari berturut-turut.

Perbedaan Molnupiravir dengan obat COVID-19 lain

Melansir Science Focus, Molnupiravir berbeda dengan obat COVID-19 lainnya. Obat yang berbentuk pil ini dapat diminum secara langsung, bahkan ketika di rumah.

Sementara pengobatan COVID-19 lainnya perlu dilakukan secara intravena atau disuntikkan oleh tenaga ahli kesehatan.

Cara kerja Molnupiravir

Menurut FDA, Molnupiravir bekerja dengan memasukkan error ke dalam kode genetik virus Corona untuk mencegah virus bereplikasi lebih lanjut.

Ketika virus masuk ke dalam sel-sel tubuh, virus akan mereplikasi genomnya. Genom yang direplikasi ini kemudian dibentuk menjadi partikel virus lengkap yang keluar dari sel dan terus menyebar ke seluruh tubuh.

Pada saat ini, Molnupiravir diserap oleh sel yang terinfeksi virus yang kemudian diubah oleh Molnupiravir menjadi 'cacat'. Maka, saat virus mencoba untuk bereplikasi, partikel virus yang dihasilkan memiliki materi genetik yang rusak dan tidak dapat lagi bereproduksi.

Namun, efek genetik obat ini nyatanya menimbulkan beberapa kekhawatiran. Dalam kasus yang jarang terjadi, Molnupiravir dapat menyebabkan cacat kelahiran atau tumor.

"Mekanisme aksi ini memiliki beberapa keterbatasan dan obat tidak dapat diberikan kepada wanita hamil karena berisiko merusak bayi yang belum lahir," kata Penny Ward, Profesor Tamu di Kedokteran Farmasi di King's College London.

Siapa yang boleh diberikan Molnupiravir?

Molnupiravir dapat digunakan oleh pasien COVID-19 dengan gejala ringan hingga sedang dan setidaknya memiliki satu faktor risiko, seperti obesitas, lanjut usia, diabetes, atau penyakit jantung.

Molnupiravir juga disebut dapat digunakan untuk pasien COVID-19 yang berisiko tinggi dirawat di rumah sakit atau meninggal.

"Molnupiravir terbatas untuk situasi di mana pengobatan lain yang disetujui oleh FDA untuk pengobatan COVID-19 tidak dapat diakses atau tidak sesuai secara klinis dan akan menjadi pilihan pengobatan yang berguna untuk beberapa pasien COVID-19 yang berisiko tinggi dirawat di rumah sakit atau meninggal," kata Patrizia Cavazzoni, MD, Direktur Pusat Evaluasi dan Penelitian Obat FDA, dikutip pada Selasa (28/12/2021).

Namun, tidak semua kelompok diizinkan menggunakan obat ini. Molnupiravir tidak boleh diberikan pada pasien yang berusia kurang dari 18 tahun karena obat tersebut dapat memengaruhi pertumbuhan tulang dan tulang rawan. Obat ini juga tidak dianjurkan untuk ibu hamil karena dapat menyebabkan kerusakan pada janin.




(kna/kna)

Berita Terkait