Baru-baru ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemendag) dan tiga nama lainnya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor bahan baku minyak goreng.
Informasi baru ini pun menyulut emosi para netizen di Indonesia. Sebenarnya, adakah batasan emosi netizen dalam merespons situasi seperti itu?
"In my professional opinion, itu [rasa emosi] adalah sesuatu yang wajar," respons Kantiana Taslim, MPsi, Psikolog Klinis dan Co-Founder Ohana Space, pada detikcom, Rabu (20/4/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kantiana, atau yang lebih akrab dipanggil Nana, menjelaskan bahwa wajar jika rasa emosi muncul saat seseorang mengalami suatu kejadian yang tidak menyenangkan atau kejadian yang tidak langsung dialami tapi merasa relate dengan kejadian tersebut.
Ia juga menjelaskan bahwa 'emosi' tidak hanya berbicara mengenai rasa marah saja, tapi, juga rasa sedih dan kecewa.
"Cuman memang, yang jadi pertimbangan di sini adalah bagaimana kita meng-handle-nya dan bagaimana bisa mengekspresikan emosi itu dalam cara-cara yang sehat dan bisa diterima oleh norma-norma sosial juga, tentunya," lanjut Nana.
Demi menangani luapan emosi dengan baik, Nana menyarankan untuk meregulasi emosi dengan cara menyadari apa yang dirasakan dan memvalidasi emosi.
"Tapi, kemudian kita mempertanyakan lagi gitu, apa sih yang membuat kita marah, sebenernya? Dari penyebab ini, dari berita yang ada, yang buat marah itu apa? Yang membuat kecewa itu apa?" tambahnya.
Regulasi emosi juga dapat dilakukan jika emosi yang dirasakan sudah terlanjur tersalurkan dengan cara yang kurang baik. Namun, Nana menawarkan cara yang sedikit berbeda.
Cara Salurkan Emosi yang Tepat
Cara itu adalah dengan memberi jarak dengan masalah atau kejadian tidak menyenangkan yang sedang terjadi. Kemudian, sebelum memecahkan masalah, disarankan untuk mencari latar belakang atau penyulut emosi tersebut.
Hal ini karena semua emosi yang dirasakan, baik marah, sedih atau kecewa, pasti selalu memiliki latar belakang.
"Misalnya contoh, ketika melihat berita itu [korupsi migor], apakah marahnya itu ke orang-orang yang memang korupsi sehingga kemudian menyebabkan kesulitan di masyarakat? Atau marahnya justru lebih ke karena selama ini, dia bersusah payah nyari minyak? Padahal, mungkin, sebenernya, marahnya ke situasi," beber Nana.
NEXT: Bijak Bermedsos
Bijak Bermedsos
Setelah itu, jika ingin menyampaikan rasa emosi ke sosial media, sebaiknya, dilakukan dengan cara yang bijaksana dan positif. Salah satu cara yang ditawarkan Nana adalah dengan melakukan cek fakta sebelum menyampaikan kekecewaan atau kemarahan di sosial media.
Dalam konteks kasus minyak goreng, sebelum menyalahkan suatu pihak, Nana menyarankan untuk mencari tahu fakta-faktanya. Nana juga mengingatkan bahwa ada beberapa batasan tertentu saat ingin menggunakan media sosial untuk menyalurkan aspirasi.
Batasan pertama adalah apakah konten tersebut berpotensi untuk menyinggung orang lain. Kedua, apakah pendapat yang diposting berbentuk fakta atau opini. Jika sebuah opini, disarankan untuk memberikan disclaimer terlebih dahulu.
Terakhir dan yang tidak kalah penting adalah apakah pendapat yang di-posting mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Simak Video "Video: PDSKJI Sebut Daya Kognitif Lemah Buat Perilaku Remaja Makin Agresif"
[Gambas:Video 20detik]
(up/up)











































