Seolah tidak kunjung usai, virus Corona SARS CoV-2 penyebab infeksi COVID-19 masih terus bermutasi. Kali ini yang muncul adalah subvarian Omicron BA.2.75 atau yang banyak disebut sebagai Centaurus.
Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban mengatakan subvarian itu dianggap sangat menular. Namun belum ada bukti kuat varian tersebut membawa petaka.
"Namun belum ada bukti kuat akan membawa kita ke hari-hari tergelap dari pandemi seperti sebelumnya," tulis Prof Zubairi dalam cuitan akun Twitternya, dikutip detikcom atas izin yang bersangkutan, Jumat (15/7/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut sejumlah fakta tentang BA.2.75 yang diungkapkan oleh Prof Zubairi:
1. Belum Terbukti Berbahaya
Menurut keterangan Prof Zubairi, subvarian Omicron BA.2.75 belum terbukti menyebabkan infeksi COVID-19 yang serius.
"Belum ada bukti yang menunjukkan subvarian ini menyebabkan penyakit yang lebih serius ketimbang subvarian lainnya. Bahkan beberapa ahli menyebut BA.2.75 itu subvarian yang paling tidak mematikan," ujarnya.
Meski demikian, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengkategorikan subvarian BA.2.75 sebagai Variant of Concern (VOC) Lineage Under Monitoring (LUM). Artinya, varian ini sedang diawasi secara ketat oleh WHO.
2. Belum Ada di Indonesia
Disebutkan bahwa Omicron BA.2.75 merupakan subvarian yang mudah menular. Namun kabar baiknya, BA.275 belum ditemukan di Indonesia.
"BA.2.75 telah dilaporkan di sekitar 10 negara, dan Indonesia belum termasuk di dalamnya. Subvarian ini pertama kali ditemukan di India," ungkapnya.
3. Centaurus Bukan Nama Resmi BA.2.75
Belakangan di berbagai media subvarian Omicron BA.2.75 diberi julukan Centaurus. Menurut Prof Zubairi, julukan tersebut bukanlah nama resmi yang diberikan WHO.
Ia sendiri belum mengetahui siapa pemberi julukan tersebut. Namun menurut mitologi Yunani, Centaurus merupakan makhluk yang berwujud setengah manusia dan setengah kuda.
4. Pesan untuk Indonesia
Meski disebut mudah menyebar, Prof Zubairi mengatakan untuk saat ini, Indonesia tidak perlu khawatir. Sebab, subvarian ini hanya ada sekitar 70 kasus yang tercatat di seluruh dunia.
"Hanya ada sekitar 70 kasus BA.2.75 yang tercatat di seluruh dunia dan belum ada data yang menyatakan subvarian ini menyebabkan infeksi yang lebih serius ketimbang Omicron awal," pungkasnya.
(any/naf)











































