Stockholm Syndrome di Balik Bapernya Netizen Liat Pelukan Sambo-Putri

Terpopuler Sepekan

Stockholm Syndrome di Balik Bapernya Netizen Liat Pelukan Sambo-Putri

Vidya Pinandhita - detikHealth
Sabtu, 03 Sep 2022 19:00 WIB
Stockholm Syndrome di Balik Bapernya Netizen Liat Pelukan Sambo-Putri
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Belakangan ini banyak sekali video adegan rekonstruksi pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (Brigadir J) yang muncul di sosial media. Alih-alih berfokus pada kasus pembunuhannya, sejumlah warganet malah menyorot aksi pelukan Sambo-Putri di tengah-tengah rekonstruksi. Hal tersebut menuai kritik keras warganet yang menilai, tak seharusnya tersangka pelaku pembunuhan diromantisisasi.

Psikolog klinis dan founder dari pusat konsultasi Anastasia and Associate, Anastasia Sari Dewi, menyebut di budaya timur, adegan romantis baik dalam film maupun internet memang mudah menarik perhatian publik. Berbeda dengan budaya barat yang menunjukkan sikap romantisme di ruang publik adalah hal yang lumrah, sehingga tak lagi dianggap hal besar oleh masyarakat.

"Kalau di luar negeri mungkin terbiasa melihat di jalan raya orang pelukan, gandengan, rangkulan, ciuman, dan itu biasa saja. Tapi di sini itu sesuatu yang langka, jarang, dan akan menarik perhatian. Sesuatu yang langka atau jarang itu akan menarik perhatian," terangnya pada detikcom, Kamis (1/9/2022).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini kan memang perhatiannya tinggi sekali ke situ plus ada perilaku-perilaku yang memang jarang dilihat di publik. Pejabat dengan istrinya yang menunjukkan romantisme sampai seperti itu. Sehingga ini menjadi sesuatu yang langka dan semakin menarik perhatian. Jadi kombo menarik perhatiannya," lanjut Sari.

Tak sampai di situ, Sari juga menyinggung 'stockholm syndrome' di balik fenomena maraknya romantisisasi warganet terhadap konten Sambo dan Putri Candrawathi. Ia menjelaskan bahwa dalam sindrom tersebut, pihak yang menjadi korban justru simpatik kepada pihak pelaku kejahatan. Alih-alih marah kepada pelaku, pihak korban justru merasa kasihan kepada pelaku.

ADVERTISEMENT

"Kalau bicara tentang sensasi emosi seperti ini, mungkin familiar dengan 'stockholm syndrome' di mana ini merupakan sensasi emosi yang dirasakan oleh korban. Dia harusnya merasa marah, takut, benci, tapi ini kebalikannya. Dia justru merasakan simpatik dengan pelakunya," jelasnya.

"Stockholm syndrome ini sebetulnya adalah salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri manusia secara psikologi karena lelah. Daripada melawan terus, marah, takut terus, atau benci terus, akhirnya dia berusaha menerima kondisi dia dengan cara bersimpati terhadap pelaku," sambung Sari.

NEXT: Berharap lebih objektif terkait kasus tersebut

Sari berharap pihak keluarga korban dan masyarakat bisa objektif dalam memantau perkembangan kasus pembunuhan tersebut. Hal ini agar tindak lanjut terhadap kasus tersebut bisa terus berjalan secara kondusif.

Ia juga mengingatkan untuk pengguna internet tak saling melontarkan hinaan di kolom komentar pada konten-konten terkait Sambo. Pasalnya, sikap tersebut justru memicu penggiringan opini dan misinformasi.

"Kembali lagi, semoga keluarga korban dalam kasus ini tetap bisa objektif, didampingi orang-orang yang profesional sehingga tidak ada sindrom seperti ini khususnya dari keluarga korban. Dari netizen juga sama, tidak ada yang mengubah perasaan lelah dari kasus ini, marah dengan kasus ini, justru dengan perasaan iba. Ini justru nanti jadi tidak berjalan dengan kondusif," bebernya.

"Ingat bahwa fenomena sindrom ini tetap ada jadi saat berkomen di media sosial secukup saja, sewajarnya saja. Apa yang dirasakan oleh hati pribadi tidak perlu dipaksakan harus orang lain merasakan. Apalagi ini kasus yang memang cukup sensitif," pungkas Sari.

Halaman 2 dari 2
(suc/kna)

Berita Terkait