Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin meningkat. Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan di tahun 2021, ada 6.480 kasus KDRT yang dilaporkan.
Sayangnya pada banyak kasus, korban KDRT memilih kembali ke pasangan yang menyakiti mereka. Secara psikologis, kelangsungan hidup dalam KDRT memang lebih rumit daripada yang terlihat.
Siklus Pengulangan KDRT
Banyak hubungan yang mengalami siklus pengulangan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga. Ada 3 fase, yakni:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tension Building
Pada fase ini, korban mungkin tak menyadari penyebab ketegangan memuncak, namun mereka dapat merasakan kemarahan pasangan mereka. Hal ini menyebabkan korban bertidak hati-hati dan mencoba menyenangkan hati pasangan.
Abusive Incident
Fase ketegangan yang memuncak akan menimbulkan terjadinya insiden kekerasan. Seringkali, pelaku menyerang korban secara fisik maupun psikologi, termasuk ancaman kekerasan.
Honeymoon Phase
Pada fase ini, ketegangan mereda dan pelaku mencoba 'menebus' kesalahan yang ia lakukan. Biasanya berupa permintaan maaf, berjanji untuk berubah, hadiah mewah, kasih sayang ekstra, dan berupaya membuat korban tetap mempertahankan hubungan. Setelah korban setuju, siklus ini akan berulang lagi.
Mengapa korban KDRT memilih kembali pada pasangan?
Ada banyak alasan, diantaranya adalah berharap bahwa pasangan telah berubah, masih merasakan cinta, atau takut anak-anak akan menyalahkannya sebagai alasan mereka berpisah.
1. Takut
KDRT berakar pada keinginan salah satu untuk mengontrol pasangannya dengan ancaman atau paksaan. Pelaku KDRT akan mengancam melakukan kekerasan tak hanya pada dirinya, namun juga orang terdekatnya termasuk anak. Korban akan berpikir satu-satunya pilihan adalah untuk tetap tinggal dan menjaga dirinya serta orang terdekat untuk selamat.
2. Kontrol psikologis atau cuci otak
Ini disebut juga dengan pelecehan emosional atau kontrol paksaan, agar korban percaya bahwa satu-satunya yang mencintai dan dapat menjaganya adalah pelaku. Saat pelaku dapat meyakinkan korban, korban akan merasa bersalah dan akhirnya memilih kembali.
3. Tidak ada tempat lain untuk pergi
Salah satu alasan lainnya korban KDRT memilih kembali pada pasangannya adalah tidak ada tempat lain yang dapat menerima mereka dengan berbagai alasan. Korban harus memilih untuk kembali pada pasangan atau menjadi tunawisma tanpa tunjangan pendukung hidup.
4. Hak asuh anak
Banyak kasus sistem pengadilan keluarga memberikan hak asuh anak justru pada pelaku KDRT. Sehingga mendorong korban memilih tinggal untuk melindungi anaknya.
(kna/kna)











































