Kemenkes Wanti-wanti Bahaya Paparan BPA dari Wadah Pangan

Kemenkes Wanti-wanti Bahaya Paparan BPA dari Wadah Pangan

Yudistira Perdana Imandiar - detikHealth
Kamis, 08 Des 2022 09:15 WIB
Kemenkes Wanti-wanti Bahaya Paparan BPA dari Wadah Pangan
Foto: Shutterstock
Jakarta -

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) angkat bicara soal penggunaan Bisfenol A atau BPA pada wadah makanan dan minuman. Ada beberapa risiko kesehatan yang dikhawatirkan terjadi jika BPA larut dalam makanan atau minuman di dalam wadah.

Dalam sebuah workshop pada awal November lalu, Pelaksana Harian Direktur Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan Cucu Cakrawati Kosim mengatakan sejumlah penelitian terbaru menunjukan BPA pada kemasan dapat terurai dan masuk ke dalam produk pangan.

FDA atau BPOM-nya Amerika Serikat menyatakan BPA aman digunakan dalam jumlah yang kecil. Tapi, penggunaan wadah pangan yang dibuat dengan BPA secara tidak tepat bisa memicu pelepasan BPA lebih banyak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"BPA bisa memicu berbagai masalah kesehatan otak dan kelenjar prostat pada bayi dan anak, selain juga dipercaya bisa memicu perubahan perilaku anak," kata Cucu dikutip dalam keterangan tertulis, Rabu (7/12/2022).

"Sedangkan pada orang dewasa, BPA bisa menyebabkan gangguan kesuburan, baik pada wanita maupun pria," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

BPA digunakan dalam pembuatan plastik jenis polikarbonat atau plastik keras yang tidak mudah pecah. Polikarbonat biasanya digunakan sebagai wadah pangan, baik makanan maupun minuman, seperti toples, botol minum, tempat makan, dan galon air minum dalam kemasan (AMDK) guna ulang. Senyawa itu juga digunakan sebagai resin epoksi, material yang digunakan sebagai pelapis dalam kemasan kaleng untuk mencegah karat.

Ahli dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar, Anwar Daud juga mengungkap sejumlah studi biomonitoring yang menunjukan aplikasi BPA melebihi ambang batas telah mengakibatkan bahaya kesehatan bagi manusia. Sebuah penelitian pada 2012 menyatakan manusia terpapar BPA melalui rute dan sumber yang berbeda, tetapi pangan telah dikonfirmasi sebagai sumber utama paparan BPA.

Awar menerangkan, sebagai xenoestrogen (tipe senyawa kimia yang mengimitasi estrogen-hormon seksual yang berperan dalam perkembangan sistem reproduksi dan karakter seks sekunder), BPA menjadi perhatian para ahli terkait perkembangan beberapa penyakit.

"Sebagai contoh, beberapa studi epidemiologi melaporkan peningkatan kadar urin yang berhubungan dengan obesitas, gangguan kesuburan, dan penyakit kardiovaskular," ungkap Anwar.

Menurut Anwar, paparan BPA juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker. Meskipun badan internasional untuk penelitian kanker belum mengategorikan BPA ke dalam kelompok karsinogenik (penyebab kanker), mereka menyarankan persoalan ini diprioritaskan untuk tinjauan lebih lanjut.

Mengutip aturan yang ditetapkan oleh Otoritas Keamanan Pangan Uni Eropa (EFSA), Anwar menyatakan tolerable daily intake (TDI) sementara ini adalah 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Berdasarkan TDI yang ditetapkan itu, maka batas migrasi spesifiknya adalah 0,05 mikrogram BPA per kilogram makanan dalam wadah makanan.

Untuk mengendalikan dan meminimalisir risiko kesehatan dari paparan BPA, Anwar merekomendasikan untuk mengurangi sumber paparan. Hal itu menurutnya dapat direalisasikan dengan meningkatkan kesadaran publik dan membuat kebijakan khusus terkait pembatasan sumber paparan BPA.

BPOM telah merancang revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Dalam revisi tersebut, BPOM antara lain mengatur kewajiban produsen AMDK yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat untuk mencantumkan label 'Berpotensi Mengandung BPA'. Pada 2017, Menteri Kesehatan juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 62 Tahun 2017 yang mewajibkan botol susu bayi mencantumkan label 'Bebas BPA'.

Namun, revisi peraturan BPOM tersebut belum diresmikan karena mendapat penolakan. Salah satunya dari asosiasi produsen AMDK yang mengkhawatirkan aturan itu dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan menambah jumlah sampah plastik sekali pakai.

Sementara itu, Koordinator Kelompok Substansi Standarisasi Bahan Baku, Kategori, Informasi Produk, dan Harmonisasi Standar Pangan Olahan, BPOM Yeni Restiani mengatakan alasan utama BPOM mewajibkan pelabelan 'Berpotensi Mengandung BPA' pada produk AMDK galon polikarbonat adalah adanya potensi migrasi seperti dijelaskan oleh Anwar.

"Jadi karena memang BPA adalah monomer (zat pembentuk) plastik polikarbonat, maka kemasan polikarbonat mempunyai kemungkinan melepaskan BPA," sebut Yeni.

Yeni mengulas Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) sudah merevisi TDI BPA pada 2021, dari yang awalnya 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari menjadi 0,00004 mikrogram per kilogram berat badan per hari atau 100 ribu kali lebih rendah.

Alasan kenapa produk AMDK dijadikan target awal, jelas Yani, adalah karena produk AMDK banyak dikemas dalam galon polikarbonat.

"Dari registrasi pangan olahan yang ada pada BPOM hingga pertengahan 2022, sekitar 22 persen adalah produk AMDK, dan yang dikemas dalam galon polikarbonat mencapai 90 persen," papar Yeni.

Selain mengurangi sumber paparan, Yeni juga merekomendasikan kepada masyarakat untuk memperhatikan perlakuan pada kemasan polikarbonat, baik pada tahap produksi, distribusi, maupun konsumsi. Proses pencucian yang tidak tepat, seperti dicuci dengan air bersuhu lebih daripada 75 derajat celcius bisa mengakibatkan potensi migrasi. Demikian juga halnya penggunaan sikat yang terlalu keras sehingga menimbulkan goresan-goresan pada galon, adanya residu detergen yang digunakan pada proses pencucian, dan juga penyimpanan yang tidak tepat, seperti di bawah sinar matahari langsung atau dekat dengan benda-benda berbau tajam.

"Itu adalah faktor-faktor yang memengaruhi risiko migrasi BPA ke produk pangan," sebut Yeni.

Yeni menjabarkan sejumlah beleid mengatur soal keamanan wadah pangan, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Permenperin Nomor 24 Tahun 2010 terkait kewajiban mencantumkan logo tara pangan dan kode daur ulang. Ada pula Peraturan Dirjen Industri Agro dan Kimia No.36/IAK/Per/8/2010 tentang Pelaksanaan dan Pengawasan Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang pada Kemasan Pangan dari Plastik. Lalu, Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun, dan Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.

Semua aturan di atas, kata Yeni, termasuk rencana BPOM mengatur kewajiban pelabelan 'Berpotensi Mengandung BPA' merupakan upaya mitigasi risiko yang sedang dilakukan oleh pemerintah.

"Dalam membahas ini, kami (BPOM) tidak sendirian, tapi melibatkan beberapa kementerian dalam sebuah tim pakar," ungkap Yeni.

Halaman 3 dari 2


Simak Video "Membedah Label Bahaya BPA Pada Kemasan Air Minum"
[Gambas:Video 20detik]
(prf/ega)

Berita Terkait