Pernikahan yang ideal merupakan impian setiap orang. Kehadiran si kecil di tengah-tengah pernikahan juga anugerah yang patut disyukuri.
Namun, tidak semua pernikahan berakhir indah. Beberapa di antaranya bahkan harus berakhir di meja hijau atau perceraian.
Anak dari pasangan bercerai atau yang biasa disebut dengan anak 'broken home' seringkali dicap buruk oleh masyarakat. Akibatnya, hal tersebut mempengaruhi kondisi psikis dalam tumbuh kembangnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Stigma) anak 'broken home' berpengaruh pada perkembangan psikis ya," ujar psikolog anak Ajeng Raviando Psi ditemui tim detikcom di Hotel GranDhika Iskandarsyah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (18/12/2022).
"Misalnya anak drugs (pengguna narkoba) pasti dibilang 'anak broken home ya?' kan jadinya bikin anak semakin terpuruk ya," lanjut Ajeng.
Ajeng menuturkan, stigma tersebut sudah mulai berkurang seiring berkembangnya zaman. Meski demikian, orang tua tetap harus menanamkan bahwa anak 'broken home' bisa berprestasi dan memiliki masa depan gemilang seperti anak-anak lainnya.
"Walaupun tidak punya keluarga yang sempurna, tetapi tidak berarti anak (broken home) bukan orang yang berhasil," kata Ajeng.
Ajeng menyarankan orang tua untuk menyadarkan anak-anaknya bahwa di dunia ini tidak ada keluarga yang sempurna. Oleh sebab itu, anak-anak 'broken home' harus ditanamkan rasa menerima diri sendiri.
Peran co-parenting atau mengurus anak secara bersamaan juga penting. Dengan co-parenting yang ideal, maka anak akan bahagia dan lebih percaya diri kedepannya.
"Supaya pada akhirnya, walaupun (orang tua) berpisah, anak-anak tidak kekurangan kasih sayang karena tidak merasa dirinya bereda dari anak yang lain," tutur Ajeng.
(hnu/kna)











































