'Tsunami' COVID-19 Bikin Kematian China Tembus 1,5 Juta? Ini Biang Keroknya

'Tsunami' COVID-19 Bikin Kematian China Tembus 1,5 Juta? Ini Biang Keroknya

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Selasa, 20 Des 2022 10:35 WIB
Family members in protective gear collect the cremated remains of their loved one bundled with yellow cloth at a crematorium in Beijing, Saturday, Dec. 17, 2022. Deaths linked to the coronavirus are appearing in Beijing after weeks of China reporting no fatalities, even as the country is seeing a surge of cases. (AP Photo/Ng Han Guan)
COVID-19 di China. (Foto: AP/Ng Han Guan)
Jakarta -

COVID-19 di China belakangan mengkhawatirkan. Banyak pasien 'menumpuk' di lorong salah satu RS, krematorium dipadati mobil jenazah, hingga muncul prediksi angka kematian COVID-19 bisa mencapai 1,5 juta kasus sampai beberapa bulan ke depan.

Banyak yang mempertanyakan angka resmi kasus COVID-19 China, jauh lebih rendah dibandingkan catatan di lapangan, lantaran aturan tes massal dicabut. Satu hal yang pasti, ahli epidemiologi Wu Zunyou menyebut China dibayangi tiga gelombang COVID-19 sekaligus dalam dua bulan ke depan.

Pakar epidemiologi Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia yang juga menjadi peneliti global health security menilai layanan fasilitas kesehatan China sudah 'kolaps'. Pasalnya, sekitar 70 persen dari tenaga kesehatan di banyak faskes terpapar COVID-19.

Selain minim sumber daya nakes, obat-obatan juga 'ludes' diborong, termasuk obat yang bertujuan meredakan gejala COVID-19 demam. Prediksinya, sudah ada 100 juta orang yang terpapar COVID-19 di China dengan potensi 1,5 juta kematian.

Apa Biang Keroknya?

Ada tiga hal menurut Dicky, pertama terkait dengan kebijakan zero COVID-19, bukan sama sekali tidak bermanfaat, tetapi imunitas penduduk berakhir rendah saat sulit menghindari 'celah' masuknya subvarian baru Omicron. Terlebih, cakupan vaksinasi COVID-19 pada penduduk lansia juga hanya berkisar 40 hingga 50 persen.

ADVERTISEMENT

Masih jauh dari sasaran target ideal. Fenomena yang berbeda seperti di banyak negara saat vaksinasi COVID-19 tinggi dibarengi dengan imunitas alamiah akibat infeksi juga tinggi. ''Ibaratnya sudah penduduk masih 'steril' dari infeksi COVID-19, vaksinasi lansia rendah, efektivitas vaksinnya juga dipertanyakan. Ya kolaps,'' kata Dicky.

Dicky mendorong akan adanya kolaborasi atau bantuan dari banyak negara untuk mengatasi wabah COVID-19 di China. Ia mewanti-wanti risiko lahirnya varian super akibat ledakan kasus yang tidak terkendali.

''Berarti mutasi dari virus bisa saja terjadi luar biasa dalam skala yang besar dan luar biasa ini berpotensi melahirkan subvarian atau varian yang super dan bisa menghasilkan gelombang baru berbahaya bagi dunia,'' terang dia.

''Belum lagi kalau ada rekombinasi dia dengan virus-virus lokal ini kan sangat berbahaya secara health security, bisa terjadi tragedi outbreak baru karena infeksi yang begitu besar dalam skala besar akan membuat layanan kesehatan menjadi lumpuh,'' pungkas dia.




(naf/kna)