Korea Selatan adalah salah satu dari beberapa negara Asia, termasuk Jepang dan China yang menghadapi penurunan demografis. Tingkat kelahiran Korea Selatan terus menurun sejak 2015 silam.
Beberapa faktor yang menjadi 'biang keroknya' adalah budaya kerja, tingginya budaya hidup, dan upah yang stagnan. Mereka akhirnya menunda memiliki keluarga hingga mempunyai anak.
Pada saat yang sama, usia produktif menyusut di tengah populasi terus menua. Otomatis, muncul kekhawatiran tidak akan ada cukup kelompok usia muda untuk mendukung kebutuhan populasi lansia yang membengkak di bidang-bidang seperti perawatan kesehatan dan bantuan rumah. Beberapa konsekuensi dari distribusi usia yang tidak seimbang ini menjadi jelas, dengan jutaan penduduk lanjut usia berjuang bertahan hidup sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 2016, lebih dari 43 persen warga Korea berusia di atas 65 tahun berada di bawah garis kemiskinan, menurut Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, lebih dari tiga kali rata-rata nasional negara-negara OECD lainnya.
Kehidupan orang Korea paruh baya dan lanjut usia dengan cepat memburuk. ''Ini adalah penyebab utama kematian mereka dalam kesepian," sebut Song In-joo, peneliti senior di Pusat Kesejahteraan Seoul, menulis dalam sebuah studi tahun 2021 tentang kematian yang kesepian.
Studi menunjukkan ribuan paruh baya, diikuti lansia, meninggal dalam kesepian lantaran ditemukan tewas usai berhari-hari dan berminggu-minggu tak bernyawa. Satu kasus melibatkan seorang buruh berusia 64 tahun yang meninggal karena sirosis terkait alkohol, setahun setelah kehilangan pekerjaannya karena cacat.
Dia tidak memiliki pendidikan, keluarga atau bahkan ponsel. Dalam kasus lain, seorang wanita berusia 88 tahun mengalami kesulitan keuangan setelah kematian putranya. Dia meninggal setelah pusat kesejahteraan lansia yang dia hadiri, biasanya menyediakan makanan gratis, ditutup pada awal pandemi.
Dalam studi lain yang diterbitkan November, Song merekomendasikan otoritas untuk membuat lebih banyak sistem dukungan bagi mereka yang mencoba bangkit kembali, termasuk program pendidikan, pelatihan, dan konseling untuk lansia.
Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Cho Kyu-hong baru-baru ini mengatakan Korea Selatan sedang bekerja seperti negara lain, termasuk Inggris dan Jepang, untuk meluncurkan strategi menghadapi 'mati kesepian'.
"Analisis ini bermakna sebagai langkah awal bagi pemerintah pusat dan daerah untuk secara bertanggung jawab menangani krisis titik buta baru dalam kesejahteraan ini," katanya.
NEXT: Studi Meninggal Kesepian
Saksikan Year in Review 2022: Kontribusi Nyata Pulihkan Perekonomian Pasca Pandemi dan Ukir Prestasi di Kancah Dunia
Meskipun kematian akibat kesepian terjadi di berbagai usia, laporan tersebut menunjukkan pria paruh baya dan lanjut usia tampak sangat berisiko. Jumlah pria yang mengalami kematian kesepian lebih tinggi 5,3 kali lipat dari wanita pada tahun 2021, naik dari empat kali lipat sebelumnya.
Orang-orang berusia 50-an dan 60-an menjadi penyumbang terbanyak dengan 60 persen dari total kasus kematian kesepian tahun lalu, dengan jumlah besar di usia 40-an dan 70-an. Orang berusia 20-an dan 30-an menyumbang 6 persen hingga 8 persen.
Laporan itu tidak membahas kemungkinan penyebabnya. Tetapi fenomena tersebut telah dipelajari selama bertahun-tahun ketika pihak berwenang mencoba memahami apa yang mendorong kematian yang sepi ini, dan bagaimana cara yang lebih baik untuk mendukung orang-orang yang rentan.
"Dalam mempersiapkan masyarakat lanjut usia, penting untuk secara aktif menanggapi kematian yang kesepian," kata badan penelitian legislatif Korea Selatan dalam rilis berita awal tahun ini, menambahkan bahwa prioritas pemerintah adalah dengan cepat mengidentifikasi kasus isolasi sosial.
Saksikan Year in Review 2022: Kontribusi Nyata Pulihkan Perekonomian Pasca Pandemi dan Ukir Prestasi di Kancah Dunia











































