'Quite Quitting' Tren Kerja Seperlunya yang Populer Sepanjang 2022

Year In Review 2022

'Quite Quitting' Tren Kerja Seperlunya yang Populer Sepanjang 2022

Alethea Pricila - detikHealth
Selasa, 10 Jan 2023 18:00 WIB
Quite Quitting Tren Kerja Seperlunya yang Populer Sepanjang 2022
Foto: unsplash
Jakarta -

Tahun 2022, muncul tren di kalangan pekerja yakni quiet quitting yang mendorong seseorang untuk bekerja dengan sangat minimalis. Mereka biasanya akan mengerjakan apa yang ditugaskan, menyelesaikannya dengan tepat waktu, dan tidak menerima lembur.

Tren ini dipilih para pekerja khususnya di generasi milenial dan gen Z yang merasa jenuh dengan lingkungan kerjanya namun enggan untuk keluar dari tempat kerjanya. Ini juga ramai di TikTok dengan mengaitkannya dengan kondisi kesehatan.

Apa itu Quiet Quitting?

Ada banyak definisi yang menjelaskan pengertian quiet quitting. Namun, prinsip dari fenomena ini adalah secara diam-diam mengambil jarak dengan pekerjaan dan memberikan prioritas lebih banyak pada kehidupan pribadi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut beberapa pakar, tren ini berawal dari kebiasaan burnout akibat pandemi COVID-19 yang membuat karyawan lebih banyak meluangkan waktu untuk pekerjaan. Hal ini disebabkan sistem 'Work From Home' (WFH) yang membuat mereka dapat bekerja setiap saat, setiap waktu, dan di manapun mereka berada. Banyak di antara mereka yang menerima banyak tambahan pekerjaan dan kesulitan mengatur dengan prioritas kegiatan lainnya.

Apa Penyebabnya?

Pandemi COVID-19 diyakini menjadi pemicu munculnya budaya ini. Dikutip dari The Hill, seorang pekerja sosial dan ahli keseimbangan kehidupan kerja Daniela Wolfe menyebut tekanan pandemi menyebabkan kelelahan dan mendorong banyak orang untuk mengatur ulang prioritasnya.

ADVERTISEMENT

"Ketika pandemi dimulai, kami semua sempat bingung dengan pekerjaan," kata Daniela. "Bagaimana pekerjaan akan diselesaikan? Dan kemudian kami menyadari, ya, jika kami bekerja dari jarak jauh, itu luar biasa."

"Orang-orang kemudian terbiasa masuk kerja lebih pagi dan memeriksa email pada pukul 6:30 setempat, di antara mereka melakukan beberapa pekerjaan dan kemudian istirahat untuk makan siang yang mudah karena itu ada di sana, tetapi mereka akan makan di meja mereka dan kemudian tidak terasa sudah larut malam sementara masih ada pekerjaan yang harus dikerjakan. Bisa sampai 12, 14, 16 jam sehari bekerja," lanjutnya.

Benarkah Menyehatkan?

Seorang psikolog Lee Chamber menyebut tren ini menjadi cara untuk mengatasi burnout atau rasa jenuh akibat overwork yang kronis. Terlebih saat para pekerja merasa kerja kerasnya kurang dihargai. Ini membantu mereka untuk menjauhi produktivitas yang toksik.

"Ini mendorong pekerja untuk ambil kendali atas istirahat, bertumbuh, dan menciptakan ruang untuk refleksi dan bagaimana mereka melekatkan kesejahteraan dalam hidupnya," ucap Chamber, dikutip dari Healthline.

Lebih lanjut, seorang psikoterapis Tania Taylow menegaskan bahwa rumah dan pekerjaan bukan hal yang seharusnya menyatu. Dalam kaitannya dengan mental health, seseorang harus mengakui dirinya lebih berdaya daripada apa yang diberikan oleh pekerjaan. Adanya jarak antara kehidupan pribadi dan pekerjaan perlu diterapkan sehingga secara tidak langsung, tren ini menurutnya dapat meningkatkan produktivitas.

Dampak Negatif Quiet Quitting

Tren quiet quitting tidak selamanya berdampak positif, Chamber menyebut tren ini bisa berdampak negatif karena adanya kemungkinan bos atau senior menyadari hal tersebut. Jika hal ini terjadi, mereka bisa saja menganggap seseorang tidak punya motivasi untuk bekerja.

Di sisi lain, quit quitting memiliki risiko membuat seseorang kehilangan rasa terlibat, kehilangan tujuan, dan juga kepuasan dalam bekerja. Padahal, hal tersebut penting dikaitkan dengan mental health.

"Penelitian menunjukkan bahwa kurang termotivasi dan kurang terlibat dalam pekerjaan dapat meningkatkan level depresi pada karyawan," jelas Chamber.

Hal serupa juga disebutkan seorang psikolog klinis dan Co-Founder Ohana Space Veronica Adesla. Menurutnya, jika hal ini dilakukan secara berlebihan, karier seseorang dapat terganggu.

"Pekerjaan merupakan bagian dari aktualisasi diri maka tentu hal ini dalam jangka panjang juga akan berdampak juga secara psikologis menyangkut kesejahteraan psikologis dan kualitas hidupnya, antara lain kepercayaan diri, kepuasan diri, kebermaknaan diri, pemaknaan hidup dan kondisi emosional," pungkasnya.

Halaman 3 dari 2
(Alethea Pricila/vyp)

Berita Terkait