Kisah salah satu keluarga dari seorang wanita bernama Chris Chee di Malaysia, mengalami kerusakan paru-paru akibat menggunakan rokok elektrik selama dua tahun. Pria yang tak disebutkan namanya itu mengalami kerusakan parah pada bagian paru-parunya dan harus diangkat dengan operasi.
Dari hasil operasi tampak bagian yang diangkat itu berwarna hitam seperti hangus terbakar. Ukuran salah satu paru-paru keluarga Chris itu juga sudah tak sama besar lagi seperti sediakala.
"Area paru-parunya yang rusak harus diangkat melalui operasi. Paru-paru kanannya lebih kecil dari yang kiri sekarang," kata Chris.
![]() |
Chris juga mengatakan mungkin banyak pengguna vape di luar sana merasa aman menggunakan alat ini setelah sekian lama. Keluarga Chris inipun sebelumnya memiliki pemikiran yang serupa. Hingga akhirnya ia memutuskan memeriksakan paru-paru setelah seorang kerabatnya yang lain juga terkena dampak vape.
"Anggota keluarga saya memiliki pola pikir yang sama sampai dia melihat pamannya mengidap akibat vaping, dan akhirnya memutuskan untuk melakukan pemeriksaan," tuturnya.
Kini kabar dari keluarga Chris tersebut sudah membaik setelah menjalani operasi. Chris juga meminta izin kepadanya untuk menuliskan postingan tentang kondisi pria tersebut untuk menyebarkan kesadaran soal bahaya vape kepada orang lain.
Beberapa orang meyakini vape dan rokok elektrik adalah solusi untuk berhenti merokok konvensional. Padahal menurut spesialis paru RS Persahabatan dan Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Erlina Burhan, SpP(K), risiko bahaya rokok elektrik tidak lebih enteng dibandingkan rokok konvensional.
Faktanya, kadar nikotin pada rokok elektrik dan vape lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Akan tetapi, karena rokok elektrik atau vape ini dihisap berkali-kali, paparan nikotin yang masuk ke tubuh pun akan sama saja kadarnya dengan penggunaan rokok konvensional.
"Salah satu penelitian menyebut lebih dari sama dengan 30 hisapan itu nikotin yang dihantarkan itu sama dengan jumlahnya dengan satu batang rokok," ucapnya beberapa waktu lalu dalam diskusi daring.
"Memang kadarnya rendah tapi pada kenyataannya ternyata orang terjebak dengan kata-kata kadar nikotin dan zat-zat kimia menjadi lebih rendah. Jadi memang sama-sama menimbulkan kecanduan juga," tegasnya lebih lanjut.
dr Erlina menegaskan, vape bukanlah alternatif untuk mereka yang ingin berhenti merokok konvensional. Sebab kadar nikotin dan zat berbahaya yang lebih rendah pada rokok elektrik justru membuat penggunaannya marak.
"Ini tidak bisa menggantikan rokok biasa dan bukan modalitas untuk berhenti merokok. Kenapa? Karena rokok elektrik ini awalnya waktu pertama kali diciptakan memang didesain untuk transisi para perokok yang biasa untuk berhenti merokok. Ya sudah pakai vape dulu yang diinhalasi karena kadarnya dibikin rendah. Komponennya juga nggak sebanyak rokok," jelas dr Erlina.
"Nah didesain seperti itu tapi pada kenyataannya justru banyak gagalnya. Orang malah kecanduan juga dengan cara-caranya bahkan justru lebih sering menghisapnya. Sebagian tidak bisa meninggalkan rokok konvensional malah pakai dua-duanya. Itulah yang dikatakan e-cigar atau vape ini gagal dipakai sebagai alat untuk berhenti merokok," pungkasnya
NEXT: dampak vape pada paru-paru