Nama Jerome Polin, content creator YouTube mendadak kembali viral usai mengunggah postingan video TikTok soal praktik koas. Dalam video viral, ia ditemani dengan dua mahasiswa kedokteran tengah berjoget mengenakan snelli dan stetoskop.
Kalimat yang tertulis dalam video kemudian dinilai tidak empati, sehingga membuat beberapa warganet geram. Mereka mengaku kesal lantaran tertulis kalimat yang biasanya diucapkan dokter saat kondisi pasien tidak bisa tertolong.
"Mohon maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin," demikian bunyi kalimat tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun dua mahasiswa yang viral berjoget TikTok adalah Ugidiam Farhan Firmansyah dan Ekida Rehan Firmansyah yang tengah menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Dekan FKUI Angkat Bicara
Dekan FKUI Prof dr Ari Fahrial Syam menyayangkan sikap tersebut. Ia mengingatkan agar setiap mahasiswa kedokteran hingga tenaga dokter mengutamakan etika bermedsos, terlebih soal hal yang berkaitan dengan keselamatan pasien.
"Yang harus hati-hati adalah ketika kita menyampaikan suatu pernyataan yang menyatakan bahwa 'kami sudah memberikan upaya maksimal. Itu kan selalu di dalam practicenya di pelayanan kesehatan," kata Prof Ari saat dihubungi detikcom Minggu (26/2/2023).
"Kata-kata itu muncul ketika dokter berkomunikasi dengan keluarga pasien menyampaikan tentang kondisi pasien yang telah diupayakan di dalam mengatasi permasalahan namun kondisinya belum membaik atau bahkan memburuk," lanjutnya.
Di sisi lain, Prof Ari juga menyebut viralnya video Jerome Polin soal praktik dokter bisa memicu kontroversi di masyarakat hingga dampak atau efek yang lebih luas seperti misinterpretasi.
"Kalau memang ada satu hal yang menimbulkan kontroversi, bisa viral dan menjadi macam-macam dampaknya," pungkas dr Ari.
Lebih lanjut, spesifik terkait kemungkinan teguran dua mahasiswa kedokteran FKUI, Prof Ari menyebut tengah mempelajari kasus untuk kemungkinan kesalahan tata krama.
"Ya kami sedang mempelajari kasusnya, ada SK Dekan tentang Tata Krama kehidupan kampus, termasuk di dalamnya terkait bagaimana civitas akademika bermedia sosial," terang dia.
NEXT: Memangnya Bagaimana Aturan Etik Bermedsos Dokter?
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah mengatur poin-poin etika bermedia sosial, sedikitnya ada 13 hal yang perlu diperhatikan para dokter, sebagaimana tertulis seperti berikut:
1. Dokter harus sepenuhnya menyadari sisi positif dan negatif aktivitas media sosial dalam keseluruhan upaya kesehatan dan harus menaati peraturan perundangan yang berlaku.
2. Dokter selalu mengedepankan nilai integritas, profesionalisme, kesejawatan, kesantunan, dan etika profesi pada aktivitasnya di media sosial.
3. Penggunaan media sosial sebagai upaya kesehatan promotif dan preventif bernilai etika tinggi dan perlu diapresiasi selama sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku.
4. Penggunaan media sosial untuk memberantas hoax atau informasi keliru terkait kesehatan/kedokteran merupakan tindakan mulia selama sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku. Dalam upaya tersebut, dokter harus menyadari potensi berdebat dengan masyarakat. Dalam berdebat di media sosial, dokter perlu mengendalikan diri, tidak membalas dengan keburukan, serta menjaga marwah luhur profesi kedokteran. Apabila terdapat pernyataan yang merendahkan sosok dokter, tenaga kesehatan, maupun profesi/ organisasi profesi dokter/kesehatan, dokter harus melaporkan hal tersebut ke otoritas media sosial melalui fitur yang disediakan dan langkah lainnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
5. Pada penggunaan media sosial, dokter harus menjaga diri dari promosi diri berlebihan dan praktiknya serta mengiklankan suatu produk dan jasa. Hal ini sesuai dengan SK MKEK Pusat IDI No. 022/PB/K.MKEK/07/2020 tentang Fatwa Etika Dokter Beriklan dan Berjualan Multi Level Marketing yang diterbitkan MKEK Pusat IDI tanggal 28 Juli 2020.
6. Pada penggunaan media sosial untuk tujuan konsultasi suatu kasus kedokteran dengan dokter lainnya, dokter harus menggunakan jenis dan fitur media sosial khusus yang terenkripsi end-to-end dan tingkat keamanan baik, dan memakai jalur pribadi kepada dokter yang dikonsultasikan tersebut atau pada grup khusus yang hanya berisikan dokter.
7. Pada penggunaan media sosial termasuk dalam hal memuat gambar, dokter wajib mengikuti peraturan perundangan yang berlaku dan etika profesi. Gambar yang dimuat tidak boleh membuka secara langsung maupun tidak langsung identitas pasien, rahasia kedokteran, privasi pasien/keluarganya, privasi sesama dokter dan tenaga kesehatan, dan peraturan internal RS/klinik. Dalam menampilkan kondisi klinis pasien atau hasil pemeriksaan penunjang pasien untuk tujuan pendidikan, hanya boleh dilakukan atas persetujuan pasien serta identitas pasien seperti wajah dan nama yang dikaburkan. Hal ini dikecualikan pada penggunaan media sosial dengan maksud konsultasi suatu kasus kedokteran sebagaimana yang diatur pada poin 6.
8. Pada penggunaan media sosial dengan tujuan memberikan edukasi kesehatan bagi masyarakat, sebaiknya dibuat dalam akun terpisah dengan akun pertemanan supaya fokus pada tujuan. Bila akun yang sama juga digunakan untuk pertemanan, maka dokter harus memahami dan mengelola ekspektasi masyarakat terhadap profesi kedokteran.
9. Pada penggunaan media sosial dengan tujuan edukasi ilmu kedokteran dan kesehatan yang terbatas pada dokter dan atau tenaga kesehatan, hendaknya menggunakan akun terpisah dan memilah sasaran informasi khusus dokter/tenaga kesehatan.
10. Pada penggunaan media sosial dengan tujuan pertemanan, dokter dapat bebas berekspresi sebagai hak privat sesuai ketentuan etika umum dan peraturan perundangan yang berlaku dengan memilih platform media sosial yang diatur khusus untuk pertemanan dan tidak untuk dilihat publik.
11. Dokter perlu selektif memasukkan pasiennya ke daftar teman pada akun pertemanan karena dapat mempengaruhi hubungan dokter-pasien.
12. Dokter dapat membalas dengan baik dan wajar pujian pasien/masyarakat atas pelayanan medisnya sebagai balasan di akun pasien/masyarakat tersebut. Namun sebaiknya dokter menghindari untuk mendesain pujian pasien/masyarakat atas dirinya yang dikirim ke publik menggunakan akun media sosial dokter sebagai tindakan memuji diri secara berlebihan.
13. Pada kondisi di mana dokter memandang aktivitas media sosial sejawatnya terdapat kekeliruan, maka dokter harus mengingatkannya melalui jalur pribadi. Apabila dokter tersebut tidak bersedia diingatkan dan memperbaiki perilaku aktivitasnya di media sosial, maka dokter dapat melaporkan kepada MKEK.











































