Kasus pembunuhan dan mutilasi model Hong Kong, Abby Choi, menuai reaksi keras dari kalangan wanita di China. Mereka menyinggung kebijakan pemerintah yang mendorong pernikahan dan memiliki anak.
Banyak yang berpendapat bahwa wanita terlalu sedikit mendapat perlindungan dari kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga. Sebelum kasus Abby, seorang wanita berusia 24 tahun di Provinsi Henan tewas di tangan suaminya karena perselisihan keluarga.
Melihat dari kasus tersebut, semakin banyak wanita yang mempertanyakan seruan pemerintah untuk menikah dan memiliki banyak anak. Mereka merasa hal ini hanya dilakukan untuk mengimbangi krisis demografi China yang menua dengan cepat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika kamu tidak menikah, kamu dipukuli oleh pacarmu. Jika Anda sudah menikah, suami Anda memukuli Anda. Jika Anda bercerai, mantan suami Anda memukuli Anda. Apa yang terjadi dengan dunia ini," salah satu anggota masyarakat menulis di platform Weibo yang dikutip dari Channel News Asia, Kamis (2/3/2023).
"Tidak menikah dan tidak punya anak memang paling aman," kata netizen lain yang memposting.
Gagasan tradisional tentang pernikahan dan kewajiban keluarga tetap kuat di China. Meski begitu, banyak kaum muda yang mulai mempertanyakan hal ini dengan mengutip pengasuhan anak yang tidak terjangkau, dukungan yang tidak memadai untuk ibu bekerja, dan aspirasi individualitas yang terlihat dari meningkatnya angka perceraian.
Beberapa poster media sosial juga menyoroti sulitnya meninggalkan pernikahan yang penuh dengan kekerasan. Ini terjadi setelah diberlakukannya 'masa tenang' wajib selama 30 hari bagi pasangan yang bercerai sejak tahun 2021.
Tak hanya itu, banyak juga yang mengkritik pola pikir konservatif yang umum di beberapa bagian pedesaan di China, yakni memprioritaskan pria dibandingkan wanita. Hal ini memicu ketidakseimbangan gender yang mencolok dalam populasi China, karena aborsi selektif jenis kelamin selama beberapa dekade kebijakan satu anak.
Tragedi pembunuhan Abby Choi dan wanita di Henan menjadi insiden baru yang menimbulkan pertanyaan tentang perlakuan dan perlindungan terhadap wanita. Pada Oktober lalu, China mengesahkan undang-undang baru tentang perlindungan perempuan yang menargetkan diskriminasi gender serta pelecehan seksual.
Namun, undang-undang tersebut juga menyerukan wanita untuk menghormati nilai-nilai keluarga. Undang-undang tersebut muncul ketika para aktivis menyatakan keprihatinan tentang meningkatnya retorika pemerintah yang mempromosikan peran wanita tradisional. Beberapa orang memandang hal ini sebagai kemunduran bagi hak-hak perempuan.
(sao/kna)











































