Seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), berinisial UA (21) ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya di daerah Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY pada pekan lalu. Adapun penyebab kematian UA yaitu akibat mengidap tuberkulosis (TBC).
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UMY Faris Al-Fadhat menyebut pihaknya melakukan tindakan preventif agar kejadian seperti itu tidak terulang. Salah satunya yaitu melakukan skrining terhadap dosen hingga mahasiswa.
"Berdasarkan gejala-gejala yang dialami oleh almarhum UA, dan mengingat akan ada kemungkinan penularan, dalam 2 hingga 3 hari ke depan UMY akan melakukan screening TBC kepada seluruh dosen, staf dan mahasiswa," kata Faris dikutip dari detikJateng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil skrining menunjukkan, ada 16 mahasiswa yang melakukan kontak erat dengan UA. Ke-16 mahasiswa tersebut diminta untuk beristirahat di rumah selama dua pekan.
"Hasilnya ada 16 mahasiswa yang kontak langsung dengan UA," kata Faris.
"Seluruhnya sudah selesai diidentifikasi, dan sudah diminta untuk beristirahat di rumah sambil kami pantau kondisi kesehatan mereka hingga dua minggu ke depan," lanjutnya.
Tanggapan Kemenkes RI
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Siti Nadia buka suara terkait kematian UA. Ia menduga ada banyak faktor yang memicu kematiannya.
"Jadi pada mahasiswa ini kita tahu banyak faktornya. Kondisi yang jelas daya tahan tubuh lah, mungkin dia capek atau mungkin dia masih beradaptasi dengan yang baru," ujar dr Nadia ditemui detikcom di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta Pusat, Kamis (30/3/2023).
"Gejala-gejala tersebut sudah ada karena baru mendapatkan pelayanan kesehatan dan biasanya tidak hanya paru tapi sudah meluas ke organ-organ lainnya," bebernya.
dr Nadia menyebut, program penanggulangan TBC sudah menjadi prioritas utama Kemenkes. Namun, pihaknya juga dihadapkan oleh sejumlah tantangan, salah satunya pasien yang malu akibat stigma TBC hanya diidap oleh kalangan yang kurang mampu.
"Pertama, masyarakat masih ada yang mempunyai stigma malu kalo dikatakan TBC dianggap penyakit masyarakat yang tidak mampu," kata dr Nadia.
Tantangan selanjutnya yaitu pasien TBC yang menyepelekan penyakitnya. Menurut dr Nadia, banyak pasien yang tidak jujur mengenai gejala yang dirasakannya sehingga mempersulit tenaga kesehatan yang ingin menanganinya.
"Itu dia sudah terlambat karena dia kan merasa batuk-batuk biasa. Dia minum obat, batuk dia hilang tapi muncul lagi batuknya," tutur dr Nadia.
"Jadi dia sudah berminggu-minggu dan dia kalau datang ke faskes ditanyain batuk 'sudah berapa hari?' Dia jawab baru tiga hari hingga susternya juga sulit," lanjutnya.
dr Nadia menyebut pihaknya akan lebih agresif untuk melakukan skrining TBC. Artinya, semua batuk berdahak akan dilakukan pemeriksaan sputum mikroskopik untuk mendiagnosis suspek TBC.
(hnu/naf)











































