Kementerian Kesehatan RI membantah tudingan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) soal nihil perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan dalam RUU Kesehatan Omnibus Law. Pihak Kemenkes disebut sudah mengusulkan daftar inventaris masalah (DIM) dalam pasal 322 terkait perlindungan nakes yang terlibat persoalan hukum.
"Sepanjang dokter itu sudah melakukan upaya penyembuhan sesuai prosedur, dia mendapatkan perlindungan, kalau toh ya memang lalai, maka wajib penyidik mengutamakan restorative," sebut Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dr Azhar Jaya saat ditemui di Menara Bank Mega, Selasa (12/4/2023).
"Pasal 322 di DIM, justru kita itu masukin, jadi IDI ini salah, seolah-olah pemerintah lalai dalam melindungi, justru kita mau nambahkan," sebutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
dr Azhar menegaskan, ada dua pasal tambahan berkaitan dengan perlindungan hukum nakes yakni di 282 ayat 1 yang berbunyi tenaga kesehatan boleh menghentikan pelayanan saat mendapat ancaman hingga kekerasan fisik.
"Nakes berhak untuk menghentikan pelayanan kalau diganggu loh, mendapatkan ancaman tindakan fisik," jelasnya.
"Dulu nggak ada, kan selama ini di IGD tuh sekarang kita mau menangani pasien diteror lah segala macam, itu ada perlindungannya ini," sambung dia.
Pernyataan ini sekaligus mengklarifikasi hilangnya hak imunitas nakes dalam upaya pengesahan RUU Kesehatan yang dinilai tidak berpihak pada organisasi profesi. dr Azhar juga membantah kekhawatiran posisi organisasi profesi yang disebut sengaja dihilangkan.
Pemberian SKP melalui pertemuan ilmiah nantinya masih berada di bawah organisasi profesi. Organisasi profesi disebut diberikan wewenang untuk menentukan standar dan perolehan SKP dengan kegiatan ilmiah tertentu.
Namun, pendataannya dibuat transparan sehingga nakes yang sudah mengumpulkan misalnya 250 SKP, bisa langsung berpraktik tanpa perlu mengurus rekomendasi perseorangan.
Sebelumnya, Ketua Umum IDI dr Adib Khumaidi SpOT mengklaim pemerintah memangkas kebijakan untuk menghilangkan hak imunitas nakes dalam pelayanan kesehatan.
"Seorang dokter yang melakukan sebuah pelayanan kesehatan menyelamatkan nyawa maka harus memiliki hak imunitas yang dilindungi oleh Undang-Undang. Di sinilah peran organisasi profesi sebagai penjaga profesinya itu untuk memberikan sebuah perlindungan hukum namun peranan organisasi profesi dihilangkan. Apabila hak imunitas ini kemudian tidak didapatkan maka begitu akan banyak para tenaga medis tenaga kesehatan dengan mudah untuk masuk ke dalam permasalahan hukum," terang dr Adib dalam pernyataan tertulis, baru-baru ini.
"Dengan adanya hak imunitas tenaga kesehatan tersebut juga akan berdampak pada patient safety. Masyarakat akan terdampak pada pelayanan kesehatan berbiaya tinggi karena potensi risiko hukum dan hal ini paradoks dengan program Jaminan Kesehatan Nasional yang menerapkan efisiensi pembiayaan," sambungnya.
(naf/vyp)











































