Otoritas AS Izinkan Donor Darah Bagi Pria Gay dan Biseksual

Otoritas AS Izinkan Donor Darah Bagi Pria Gay dan Biseksual

Celine Kurnia - detikHealth
Selasa, 16 Mei 2023 14:36 WIB
Otoritas AS Izinkan Donor Darah Bagi Pria Gay dan Biseksual
Ilustrasi donor darah. (Foto: thinkstock)
Jakarta -

Pria gay dan biseksual akan dapat menyumbangkan darah tanpa batasan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade. Food and Drug Administration (FDA) merilis serangkaian rekomendasi yang diperbarui untuk menilai kelayakan donor darah guna mencegah HIV yang ditularkan melalui transfusi.

Dikutip dari Healthline, di bawah pedoman baru tersebut, semua donor, terlepas dari orientasi seksual atau jenis kelamin akan menjawab serangkaian pertanyaan untuk menentukan apakah mereka memenuhi syarat untuk mendonorkan darah.

Calon donor akan ditanya tentang apakah mereka memiliki pasangan seksual baru, memiliki lebih dari satu pasangan seksual dalam 3 bulan terakhir, atau melakukan seks anal dalam 3 bulan terakhir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka yang telah melakukan hal-hal di atas tidak dapat menyumbangkan darah untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi HIV. Selain itu, orang yang memakai obat yang mengobati atau mencegah HIV, termasuk profilaksis prapajanan (PrEP) tidak dapat mendonorkan darah.

FDA menyatakan meskipun obat antiretroviral aman dan efektif, itu dapat memengaruhi keakuratan tes skrining darah yang digunakan untuk mendeteksi HIV.

ADVERTISEMENT

Menurut FDA, HIV tidak dapat ditularkan secara seksual oleh orang dengan tingkat virus yang tidak terdeteksi. Namun, ada beberapa risiko penularan HIV melalui transfusi karena darah diberikan secara intravena dan melibatkan sejumlah besar darah.

Kebijakan tersebut menjadi sejarah bagi komunitas LGBTQI+, khususnya pria gay dan biseksual yang selama puluhan tahun tidak dapat mendonorkan darahnya. Awalnya pelarangan dimulai pada awal wabah HIV di tahun 1980-an. Dalam beberapa tahun terakhir, FDA mengubah kebijakan mereka untuk mengizinkan pria gay menyumbangkan darah jika mereka tidak melakukan hubungan seks selama 3 bulan.

"Bagi saya, di zaman sekarang ini mengecualikan orang berdasarkan preferensi seksual mereka tidak masuk akal ketika kami memiliki tes yang sangat baik dan akurat untuk menyaring HIV, hepatitis (B/C), sifilis, dan penyakit menular lainnya," kata Dr Dushyantha Jayaweera, spesialis penyakit menular dan HIV di University of Miami Health System.

Pakar kesehatan dan kelompok advokasi LGBTQI+ memuji pedoman baru tersebut.

"Ini mendekatkan kita pada kebijakan FDA berdasarkan sains, bukan stigma, karena HIV bukanlah 'penyakit gay'. Tidak ada yang melekat pada jenis kelamin, identitas gender, atau orientasi seksual yang membuat orang lebih mungkin tertular HIV, atau penyakit lainnya," kata Jason Cianciotto, wakil presiden komunikasi dan kebijakan Gay Men's Health Crisis.

Namun, beberapa pakar kesehatan mengkhawatirkan keterbatasan kebijakan baru tersebut. Cianciotto mencatat kebijakan tersebut tidak membuat pengecualian untuk orang yang menggunakan kondom berdasarkan data dari satu dekade lalu dan mempertanyakan bukti yang digunakan FDA untuk mengukur risiko negatif palsu pada tes HIV di antara para pengguna PrEP.

Selain itu, FDA mengatakan pedoman tersebut tidak mengikat sehingga berpotensi memungkinkan fasilitas donasi tertentu untuk mengikuti pedoman tersebut.

FDA menyatakan akan terus mengevaluasi data dan perkembangan teknologi untuk menginformasikan rekomendasi kelayakannya.

"Meskipun dapat membingungkan publik untuk mendengar tentang perubahan rekomendasi, sains akan dan harus terus mengandalkan studi baru untuk membuktikan atau menyangkal rencana kami saat ini dan bekerja menuju cara yang lebih aman dan efektif untuk merawat pasien," kata Michelle Forcier, dokter di FOLX Health dan profesor pediatri di Brown University.




(kna/kna)

Berita Terkait