Dibanding pada atlet sepakbola, risiko cedera lutut ACL (Anterior Cruciate Ligament) pada atlet bulutangkis dapat dibilang relatif lebih jarang terjadi. Bellaetrix Manuputty adalah satu dari sedikit atlet bulutangkis yang ketiban 'apes' harus mengalaminya di tahun 2015.
Bella, sapaan akrabnya, merupakan salah satu pasien Dr dr Bobby N Nelwan, SpOT(K), spesialis ortopedi dan traumatologi dan konsultan sport injury dari Royal Sports Centre di RS Royal Progress (RSPP), Sunter, Jakarta Utara. Menurutnya, cedera ACL ibarat mimpi buruk bagi seorang atlet profesional karena itu artinya ia harus menyediakan waktu untuk memperbaiki ligamen yang putus.
Saat itu, Bella sempat menunda operasi untuk lebih dulu menjalani terapi penguatan otot, namun hasilnya tidak ada perbaikan dan malah makin memburuk. Ia akhirnya memutuskan untuk menjalani operasi pada 2016, dan hasilnya ia sudah bisa bertanding lagi setelah menjalani masa pemulihan selama kurang lebih 9 bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cedera ACL, menurut Bella, sebenarnya relatif jarang dialami atlet bulutangkis dan lebih banyak dialami atlet dari cabang olahraga lain yang melibatkan lebih banyak melibatkan body contact. Faktanya, siapa saja bisa mengalami cedera yang kerap disertai nyeri lutut tersebut.
dr Bobby menegaskan bahwa cedera ACL memang bisa dialami siapapun. Bahkan bukan hanya atlet profesional, orang awam pada umumnya juga sangat mungkin mengalaminya akibat kecelakaan saat melakukan aktivitas sehari-hari yang bisa memicu cedera lutut tersebut.
"Atlet saja yang terlatih bisa cedera, apalagi yang tidak," papar dr Bobby kepada detikcom, dikutip Rabu (31/5/2023).
"Life itu sendiri adalah sport activity. Semua itu sport. Naik turun tangga, ngepel kemudian kepleset, nggak harus kepleset di lapangan, di rumah juga bisa kepleset," jelasnya.
Dilihat dari populasinya, dr Bobby menilai justru orang awam pada umumnya punya peluang lebih besar untuk mengalami cedera ACL dibanding atlet profesional yang rasionya lebih tidak seberapa. Justru, ketidaktahuan awam terhadap diagnosis dan penanganan yang tepat dapat membuat orang awam lebih rentan terhadap dampak yang lebih serius.
Demikian juga jika dilihat dari jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang signifikan pada level kerentanan. Kalaupun jumlah kasusnya teramati lebih banyak pada laki-laki, semata-mata karena laki-laki lebih sering terpapar aktivitas yang lebih berat.
"Tapi kalau perempuan dan laki-laki sama jumlah pekerjaannya, perempuan lebih mudah cedera," jelas dr Bobby.
Dalam beberapa kasus, cedera ACL kerap dianggap remeh dan tidak dianggap sebagai ancaman serius karena memang nyeri lutut yang dirasakan di awal cedera dapat membaik dengan sendirinya dalam 3 pekan. Alih-alih diperiksakan ke dokter, banyak yang kemudian malah dibawa ke tukang urut.
Akibatnya, kerusakan ligamen yang fungsinya menunjang stabilitas lutut justru tidak tertangani. Risiko kerusakan yang lebih parah dapat terjadi karena lutut yang tidak stabil tersebut lantas dipaksakan lagi untuk beraktivitas.
"ACL putus itu nggak sakit. Pada awalnya memang sakit, tetapi setelah diurut, dalam 3 minggu sembuh semua luka-lukanya. Sakitnya hilang. Tapi yang tidak sembuh adalah stabilitas lututnya," jelas dr Bobby.
Klik halaman selanjutnya >>
Waspadai Tanda-tanda Cedera ACL
Menurut dr Bobby, fungsi ACL adalah menjaga stabilitas sendi lutut. Cedera ACL yang tidak diperbaiki akan membuat lutut tidak stabil, lalu dalam jangka panjang dapat memicu komplikasi lebih serius seperti kerusakan meniskus dan bantalan sendi.
Karenanya, ia menyarankan untuk segera memeriksa dan memastikan cedera yang dialami. Cedera yang disertai bunyi 'popping' di lutut, bengkak, dan kesulitan bergerak, dapat dicurigai sebagai tanda-tanda cedera ACL.
"Itu biasanya pada tahap awal saja. Kalau tidak disertai dengan komplikasi lain, hanya ligamen saja, paling 3 minggu selesai (sakitnya)," kata dr Bobby.
"Supaya tidak lebih jauh sampai bertahun-tahun, coba saja lari. Lari, terus muter. Kalau tiba-tiba 'klek', goyang, berarti 'unstable knee' atau lutut yang tidak stabil. Udah, segera berobat jangan nunggu sakit," lanjutnya.
Pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis biasanya dilakukan dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Penanganannya dilakukan lewat operasi dengan artroskopi, yang umumnya dapat ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Setelah masa pemulihan dengan fisioterapi selama 6-9 bulan, dapat dilakukan tes 'return to sport' untuk memastikan fungsi persendian sudah kembali normal. Penurunan performa fisik sebesar 10-20 persen dapat dialami setelah operasi, tetapi lutut yang menjadi lebih stabil dapat menghindarkan risiko kerusakan lebih fatal.
Pesan Agar Tak Gampang Cedera
Bagi kalangan nonatlet yang suka olahraga, Bella berpesan untuk selalu memastikan kondisi tubuh selalu fit saat beraktivitas. Menurutnya, olahraga adalah cara untuk sehat dan tidak seharusnya malah bikin jadi tidak sehat.
"Pertama pastiin badannya fit, kedua pemanasan yang bener, dan pendinginan yang bener. Udah," pesan Bella.
Menurutnya, risiko lebih besar perlu diwaspadai ketika melakukan olahraga yang sifatnya body contact dan banyak membutuhkan gerakan-gerakan 'twist'. Karena itu pula, ia menyebut risiko cedera ACL di cabang olahraga badminton relatif lebih jarang terjadi dibanding pada sepak bola dan basket.
"Kalau ototnya kuat ya sebenarnya nggak masalah sih," katanya.
Senada, dr Bobby juga berpesan untuk memilih jenis olahraga yang tidak 'high impact' jika merasa punya kerentanan. Selain itu, memperbaiki lifestyle harus lebih diutamakan dibanding mengonsumsi suplemen, apalagi yang belum terbukti manfaatnya.
"Jangan gendut. Biar makan kolang-kaling satu drum, kalau gendut, hancur lututnya," pesan dr Bobby.
Jika Anda mengalami masalah seputar kesehatan sendi tulang dan membutuhkan konsultasi lebih lanjut, konsultasikan segera bersama Dr dr Bobby N Nelwan, SpOT(K) dengan klik di sini.
Simak Video "Video: Kemenkes Pasang 15 Starlink untuk Faskes-Posko di Wilayah Bencana Sumatera"
[Gambas:Video 20detik]
(ncm/ega)











































