China diprediksi bakal mencatat 65 juta kasus baru COVID-19 per minggu, berbarengan dengan puncak kasus yang tiba pada akhir Juni ini. Muncul informasi, gelombang Corona di negara tersebut dipicu oleh subvarian Omicron XBB.
Prediksi ini dianggap mengejutkan lantaran beberapa bulan lalu, China memberlakukan protokol pengendalian COVID-19 paling keras dibandingkan negara-negara lainnya.
Kini dengan merebaknya subvarian Omicron terbaru, lonjakan kasus terjadi dalam waktu enam bulan pasca penanganan ketat COVID-19 di China dicabut. Mengingat, penanganan tersebut berupa lockdown, pengujian massal, karantina yang menyesakkan, dan persyaratan masker yang ketat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Orang-orang merasa berbeda tentang gelombang ini," kata Qi Zhang, 30, yang bekerja di sebuah perusahaan keuangan di utara kota Tianjin dikutip dari NBC News, Jumat (2/6/2023).
"Terakhir kali, semua orang ketakutan, tapi sekarang mereka tidak menganggapnya sebagai masalah besar," sambungnya.
Prediksi 65 juta kasus per minggu tersebut diungkapkan oleh spesialis penyakit pernapasan Zhong Nanshan pada konferensi medis minggu ini di kota selatan Guangzhou.
Sebagaimana dijelaskan dalam media pemerintah, gelombang yang dimulai pada akhir April telah diantisipasi sehingga terlihat, China bisa mendekati 40 juta infeksi per minggu. Berlanjut pada akhir Juni, jumlah infeksi mingguan akan mencapai 65 juta.
Imunitas Menurun, Risiko Kasus Reinfeksi Naik Lagi
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat melaporkan lebih dari 5 juta kasus dalam seminggu pada puncak kasus COVID-19 Januari lalu. Namun juga seperti AS, China berhenti memberikan pembaruan kasus mingguan bulan ini sehingga sulit untuk mengetahui sejauh mana sebenarnya wabah saat ini.
Selama gelombang Omicron pertama China pada Desember dan Januari, tercatat ada jutaan kasus COVID-19 dengan infeksi varian Omicron. Imbasnya, rumah sakit dan krematorium di kota-kota di seluruh negeri dipenuhi pasien COVID-19.
Kepala ahli epidemiologi di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China, Wu Zunyou, melaporkan sekitar 80 persen dari 1,4 miliar warga China terinfeksi selama gelombang itu. Namun, kekebalan warga kini sudah berkurang dalam hitungan waktu beberapa bulan, sehingga risiko reinfeksi meningkat kembali.
(vyp/vyp)











































