Parlemen di Jepang mengungkap sebuah laporan terkait kasus sterilisasi paksa yang dilakukan pada hampir 25 ribu warganya. Bahkan dua bocah berusia 9 tahun pun menjadi korban termuda dari prosedur tersebut.
Menurut laporan, sebanyak 24.993 orang menjalani operasi paksa di Jepang berdasarkan undang-undang egenetika. Korban termuda itu terdiri dari satu anak laki-laki dan satu perempuan 9 tahun, yang disterilkan masing-masing pada awal 1960-an dan awal 1970-an.
"Bahkan 65 persen prosedur dilakukan tanpa persetujuan dan beberapa bahkan ditipu karena menjalani pengobatan untuk suatu penyakit," kata laporan itu yang dikutip dari Japan Today, Rabu (21/6/2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam satu kasus, seorang anggota keluarga meyakinkan orang yang menjalani operasi sterilisasi bahwa itu untuk mengobati radang usus buntu," sambungnya.
Alasan dan keadaan di balik operasi itu tidak diketahui pasti. Namun, para korban sterilisasi paksa mayoritas adalah penyandang disabilitas.
Berdasarkan penyelidikan parlemen terhadap realitas undang-undang yang efektif pada 1945-1996, sterilisasi ini adalah syarat untuk masuk ke beberapa fasilitas kesejahteraan atau untuk menikah. Laporan tersebut juga mencatat terkait kasus paparan radiasi dan pengangkatan rahim, metode yang dilarang berdasarkan hukum.
Undang-undang egenetika ini mengesahkan sterilisasi orang dengan cacat intelektual, penyakit mental atau kelainan keturunan untuk mencegah kelahiran keturunan 'inferior'. Aturan ini diprakarsai anggota parlemen, yang juga ditujukan untuk membatasi peningkatan populasi di tengah kekurangan pangan tak lama setelah Perang Dunia II, diadopsi dengan suara bulat pada saat itu.
Pada tahun 2019, lebih dari dua dekade setelah undang-undang tersebut direvisi di tengah seruan bahwa itu diskriminatif, parlemen memberlakukan undang-undang untuk membayar kompensasi negara sebesar 3,2 juta yen atau sekitar 339 juta rupiah kepada setiap orang yang menjalani sterilisasi paksa berdasarkan undang-undang tersebut.
Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno mengatakan pada konferensi pers bahwa pemerintah dengan tulus merenungkan dan sangat meminta maaf, atas fakta bahwa sejumlah orang menderita rasa sakit yang luar biasa akibat sterilisasi paksa. Hal ini disampaikan melalui juru bicara utama.
"Pemerintah akan melakukan segala upaya yang mungkin untuk memastikan bahwa diskusi parlemen berdasarkan laporan tersebut berjalan dengan lancar dan mempertimbangkan bagaimana menangani masalah tersebut," tutur juru bicara utama.
(sao/kna)











































