Sekitar 25 ribu warga Jepang menjadi korban sterilisasi paksa yang dilakukan di bawah undang-undang egenetika pasca-Perang Dunia Kedua. Dua korban dilaporkan masih berusia 9 tahun saat proses pemandulan paksa tersebut dilakukan.
Beberapa orang diberitahu bahwa mereka sedang menjalani prosedur rutin seperti operasi usus buntu, ungkap laporan tersebut. Pemerintah daerah pada saat itu memiliki kekuatan untuk menetapkan operasi secara sewenang-wenang.
Seorang korban berusia 80 tahun, yang dipaksa menjalani operasi pada usia 14 tahun, mengatakan kepada media lokal bahwa laporan tersebut adalah bukti bahwa pemerintah telah menipu anak-anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ingin negara tidak menutup-nutupi masalah ini, tetapi segera menganggap serius penderitaan kami," kata korban yang ingin dikenal sebagai Saburo Kita kepada BBC.
Laporan tersebut mencatat bahwa sterilisasi di bawah undang-undang eugenika yang sekarang sudah tidak berlaku, memungkinkan pihak berwenang untuk melakukan prosedur pada orang-orang dengan disabilitas intelektual, penyakit mental atau kelainan keturunan untuk mencegah kelahiran anak-anak "inferior".
Kritik terhadap laporan tersebut mengatakan bahwa laporan tersebut tidak membahas mengapa butuh waktu hampir 50 tahun untuk membatalkan undang-undang tersebut. Itu juga tidak menjelaskan alasan di balik pembuatan undang-undang tersebut.
Berdasarkan penyelidikan parlemen terhadap realitas undang-undang yang efektif pada 1945-1996, sterilisasi ini adalah syarat untuk masuk ke beberapa fasilitas kesejahteraan atau untuk menikah. Laporan tersebut juga mencatat terkait kasus paparan radiasi dan pengangkatan rahim, metode yang dilarang berdasarkan hukum.
(kna/kna)











































