Belum lama ini warga Korea Utara yang melarikan diri dari negara tersebut menceritakan pengalaman mereka tinggal di dekat situs uji coba nuklir.
Mereka mengaku pernah mengidap penyakit-penyakit misterius selama tinggal di sana.
Lee Mi-young, salah satu warga Korea Utara dengan nama samaran, mengaku dirinya kehilangan anak semata wayangnya lantaran sang buah hati mengalami kondisi pernapasan misterius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Paru-paru anaknya seperti meleleh. Namun, dia hanya didiagnosis Tuberkulosis (TBC) seperti anak-anak lainnya yang tinggal di daerah itu.
"Kami menusuk sisi paru-parunya untuk mengalirkan cairan tiga kali sehari. Nanah keluar dan pada akhirnya dia meninggal," kata Lee, seperti dikutip Radio Free Asia, Senin (10/7).
"Dia punya delapan teman, tetapi satu atau dua (temannya) mulai sakit dan didiagnosis mengidap TBC. Semuanya meninggal dalam waktu empat tahun. Anak saya didiagnosis dengan cara yang sama," imbuh Lee.
Lee mengungkapkan bahwa dokter Korea Utara menjadi frustasi lantaran mereka tak dapat menentukan bagaimana anak-anak tersebut tertular TBC. Ia juga meyakini bahwa sang putra meninggal imbas efek dari radiasi tersebut.
"Dokter bagian tuberkulosis mengatakan bahwa dia tidak tahu mengapa begitu banyak anak muda yang mengidap tuberkulosis di rumah sakit," kata Lee.
Lee sendiri meyakini bahwa putranya terkena radiasi akibat nuklir di wilayah tersebut.
"Mereka tidak tahu bahwa itu akibat uji coba nuklir," ucapnya.
Saat tiba di Korea Selatan pada 2016, Lee mengetahui bahwa uji coba nuklir yang pernah dia rayakan itu hampir pasti menjadi penyebab anaknya meninggal dunia.
"Ketika uji coba nuklir ketiga dilakukan [pada 2013], orang-orang bersorak gembira setelah menonton siaran. Saya bangga bahwa Korea Utara telah mengembangkan senjata nuklir untuk 'melumpuhkan Amerika'," ucapnya.
"Saya tidak tahu bahwa itu akan berdampak negatif pada orang-orang," singgungnya.
Lee sendiri tinggal 27 kilometer dari situs Punggye-ri, lokasi Pyongyang melakukan enam uji coba nuklir bawah tanah pada 2006-2007.
Saat tinggal di sana, Lee mengaku hampir tidak bisa khawatir soal dampak nuklir karena sibuk mencari nafkah dan bertahan hidup.
Lee juga mengatakan sebetulnya ada begitu banyak pasien penyakit parah yang tinggal di daerah Kilju, daerah kediamannya.
"Kabupaten Kilju punya jumlah pasien kanker lambung, pankreas, hati, tuberkulosis, dan paru-paru tertinggi secara nasional. Ketika pasien didiagnosis mereka meninggal dalam waktu tiga bulan," ucapnya.
Saat anaknya sakit, Lee sempat membawa putranya ke ibu kota Pyongyang dengan harapan bisa mendapat dokter yang lebih baik.
Pergi ke Pyongyang sendiri adalah tindakan ilegal bagi warga biasa. Akses untuk layanan kesehatan, yang disediakan bagi elite Korut, juga hampir tidak mungkin didapat.
"[Kami] mencoba pergi dari rumah sakit (tempat dia dirawat) menuju rumah sakit di Pyongyang. Tapi pihak rumah sakit memberitahu kami bahwa semua pasien TBC dan hepatitis di Kilju tak bisa memasuki Pyongyang," tuturnya.
"Saya tidak bisa mendapat izin atau sertifikat, oleh sebab itu putra saya meninggal tanpa pernah mendapat kesempatan dirawat di rumah sakit di Pyongyang," lanjutnya lagi.
Lebih lanjut, Kim percaya bahwa dirinya terkena radiasi lewat air minum. Pasalnya air di daerah tempat ia tinggal merupakan satu-satunya sumber air.
"Semua air keran berasal dari (situs) Punggye-ri," imbuhnya.
Kini, dia merasa kasihan pada warga Kilju lainnya yang masih tinggal di sana. Sebab mereka tidak tahu betapa bahayanya pengembangan nuklir terhadap kualitas hidup.
Simak Video "Video: PR Dinkes Jakarta Temukan 70 Ribu Kasus TBC hingga Akhir 2025 "
[Gambas:Video 20detik]
(suc/naf)











































