Sering terdengar kabar, orang yang pernah terkena COVID-19 mengalami gejala berkepanjangan atau disebut sebagai 'Long COVID'. Dalam kondisi sudah sembuh dari COVID-19, mereka tetap merasakan sejumlah gejala yang berlangsung dalam waktu lama seperti gangguan indera perasa dan penciuman, atau kesulitan mengingat dan berkonsentrasi akibat kabut otak (brain fog).
Sebuah RS penelitian di kota New York, NYU Langone Health, mencoba memahami bagaimana virus mempengaruhi otak dan sistem saraf.
Menurut Direktur program dr Sharon Meropol, beberapa masalah neurokognitif yang mereka lacak yakni penurunan kognitif, perubahan ukuran dan struktur otak, depresi dan pemikiran bunuh diri, tremor, kejang, kehilangan ingatan, dan demensia baru atau yang memburuk berkaitan dengan virus Corona.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur klinis dari National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS), dr Avindra Nath, menjelaskan, memang umumnya, orang yang terjangkit virus akan menunjukkan 'bercak' virus di tubuhnya mengacu pada penindaian.
Namun pada orang yang pernah terkena COVID-19, pihaknya justru menemukan kerusakan yang signifikan pada pembuluh darah yang dilapisi dengan antibodi. Sistem kekebalan tubuh menjadi rusak sebagai respons terhadap virus, menyebabkannya menyerang pembuluh darahnya sendiri dan memicu serangkaian efek yang menyebabkan peradangan signifikan di otak.
"Pada orang yang selamat dari COVID-19, peradangan otak juga dapat menyebabkan gejala selama bertahun-tahun seperti kabut otak dan kehilangan ingatan (meskipun) kami tidak tahu pasti," jelas Nath, dikutip dari Times, Selasa (18/7/2023).
Walaupun, Nath menambahkan, temuan ini masih merupakan pertanyaan terbuka dan perlu diteliti lebih lanjut. Pasalnya, timnya masih terus mempelajari otak pasien COVID-19 dan belum menemukan bukti nyata adanya virus SARS-CoV-2 di organ tersebut.
Seorang peneliti COVID-19 di Klinik Cleveland, Lara Jehi, juga menunjuk peradangan sebagai kemungkinan pemicu gejala neurologis COVID-19. Ia menemukan peradangan abnormal pada orang dengan sakit kepala kronis pasca COVID.
Dan dalam studi pada 2021, Jehi dan rekannya membandingkan otak orang dengan Long COVID dan pengidap Alzheimer.
Dalam penelitian itu, timnya ingin menentukan apakah virus SARS-CoV-2 memasuki otak dan menyebabkan kerusakan secara langsung, atau memicu respons kekebalan yang menyebabkan perubahan otak.
"Kami menemukan banyak area yang tumpang tindih di antara keduanya, dan area yang tumpang tindih ini berpusat pada peradangan di otak dan cedera mikroskopis pada pembuluh darah," jelasnya.
Di samping temuan Nath dan Jehi, peneliti lain telah menemukan virus di otak orang yang meninggal karena COVID-19. Mengacu pada makalah 2022 di Nature, para peneliti menganalisis jaringan otak dari 11 orang yang mengidap COVID-19 ketika mereka meninggal.
Hampir pada semua individu, para peneliti menemukan materi genetik virus di jaringan sistem saraf pusat. "Membuktikan secara definitif bahwa SARS-CoV-2 mampu menginfeksi dan bereplikasi di dalam tubuh manusia (di otak)," ungkapnya.











































