Polusi udara di DKI Jakarta yang belakangan semakin 'menggila' menjadi sorotan banyak kalangan. Kondisi bahkan menarik perhatian media asing untuk ikut berkomentar soal udara 'beracun' di ibu kota.
Situasi ini akhirnya membuat pemerintah angkat bicara. Melalui konferensi pers, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta dan sejumlah pihak terkait buka-bukaan soal polusi udara melanda DKI Jakarta dan sejumlah wilayah di Jabodetabek.
Berikut fakta-faktanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Penyebab Polusi Udara
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Reliantoro mengungkapkan polusi udara yang terjadi di DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya yakni udara kering.
"Kalau dari siklus, bulan Juni, Juli, Agustus itu selalu terjadi peningkatan pencemaran di Jakarta karena dipengaruhi oleh udara dari timur yang kering," ungkapnya dalam konferensi pers di Jakarta Timur, Jumat (11/8/2023).
Selain itu, ia menyebut polusi udara juga dipicu faktor pembuangan emisi dari transportasi.
2. Efek Kemarau
Di sisi lain, Kepala DLH Jakarta, Asep Kuswanto menuturkan faktor utama lain yang memicu polusi udara adalah kondisi kemarau.
"Salah satu faktor pencetusnya adalah kondisi kemarau yang memang di bulan Juli hingga September biasanya titik kondisi kemarau sedang mencapai tinggi-tinggi-nya sehingga memang berakibat pada polusi udara yang kurang baik," imbuhnya.
3. Bakal Terbitkan Pergub
Lebih lanjut, Asep mengatakan pihaknya bakal mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Gubernur (Pergub) terkait pengendalian pencemaran udara di wilayah Jakarta.
"Pemprov DKI dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup DKI sudah menyusun berbagai macam regulasi yang sudah ada Instruksi Gubernur 66 tentang pengendalian pencemaran udara, dan ke depannya, kami juga sedang menyusun untuk pengendalian dalam bentuk Pergub. Dalam waktu dekat akan ditandatangani Pak Gubernur, yaitu Pergub saat ini pengendalian pencemaran udara," terangnya.
NEXT: Polusi di Serpong dan kebijakan WFH
4. Tak Terbendung Pepohonan?
Temuan yang mengklaim Serpong sebagai kota paling berpolusi mengundang sorotan banyak pihak. Pasalnya, Serpong masih memiliki banyak kawasan hijau dan pepohonan.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Direktorat Jenderal PPKL KLHK, Luckmi Purwandari mengatakan meski dapat mengurangi polusi, tanaman atau pohon hanya bisa menyerap polutan dalam radius yang kecil.
"Kalau tanaman itu kan sebenarnya memang mengurangi, ibaratnya tanaman-tanaman tertentu memang bisa menyerap polutan. Tapi skalanya lokal, atau radiasi atau nyerapnya lokal," jelasnya.
Ia menambahkan jika tidak dibarengi upaya dari masyarakat sekitar, seperti beralih menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, maka efektivitas pepohonan dalam mengurangi polusi juga akan semakin menurun.
5. Bolehkah WFH Selama Kondisi Polusi?
Sigit menegaskan terkait kebijakan work form home (WFH) selama kondisi polusi akan diserahkan kepada manajemen perusahaan masing-masing. Pihaknya sudah menyediakan informasi kualitas udara yang bisa digunakan sebagai acuan untuk menentukan kebijakan WFH.
"Mohon itu digunakan untuk masing-masing manajemen menentukan apakah perlu WFH atau tidak. Karena kan tidak setiap hari fenomenanya terjadi," pungkasnya.
Simak Video "Video: Polusi Udara Bisa Meningkatkan Risiko Diabetes "
[Gambas:Video 20detik]
(ath/kna)











































