Heboh fenomena 'tipu-tipu' produk sunscreen yang diklaim memiliki kandungan SPF di atas 50. Namun setelah dilakukan uji lab , berulah ketahuan bahwa beberapa produk tersebut hanya memiliki 2 SPF. Terkait itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM) memberikan komentar.
Plt Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM RI Reri Indriani mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan uji sampling secara ketat. Pengujian tersebut dilakukan dari tahap pre hingga post market.
Namun, dalam jejak pengujian sampling yang dilakukan, Reri mengakui adanya penemuan sejumlah produk yang 'overclaimed'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita sudah menyampaikan bahwa BPOM RI sebelum kosmetik tersebut diedarkan juga melakukan evaluasi terhadap kebenaran kandungan dan klaim dari SPF tersebut. Pada tahun 2022 dokumen yang dinilai sudah tidak memenuhi ketentuan terkait dengan klaim dan kandungannya," ujar Reri ketika ditemui detikcom, Rabu (20/9/2023).
"Artinya dia klaim SPF-nya 50 ternyata dari aspek formula kandungannya tidak memenuhi klaim tersebut, itu ada datanya. Pada saat setelah produk beredar, kita juga melihat klaim tersebut penandaan misalnya SPF-nya 30 kemudian kita melakukan auditnya ternyata tidak sesuai kita kita minta disesuaikan," sambungnya.
Ia menuturkan apabila kandungan SPF dalam produk tidak dapat diperbaiki sesuai dengan klaim awal, BPOM akan meminta produsen untuk mencantumkan keterangan yang sebagaimana mestinya berdasarkan hasil uji laboratorium.
BPOM menuturkan bahwa terdapat beberapa metode yang dilakukan untuk menguji nilai SPF pada sebuah produk kosmetik. Metodenya adalah in vitro dan in vivo.
Metode in vitro merupakan pengujian awal perkiraan nilai SPF tabir surya menggunakan alat spektrofotometri ultra violet (UV). Pengujian awal ini belum dapat dijadikan acuan sebagai penentuan nilai SPF.
Sedangkan metode in vivo merupakan standar utama untuk menentukan nilai SPF pada kosmetik. Metode pengujian metode ini dilakukan pada subjek manusia sehingga lebih menggambarkan nilai SPF yang sebenarnya sesuai dengan hasil lab.
BPOM akan menggunakan data dukung yang berasal dari hasil uji in vivo untuk menentukan nilai SPF yang dapat dicantumkan pada produk kosmetik tabir surya.
Next: Sorotan BPOM Soal Iklan Kosmetik
Reri mengatakan bahwa ada sekitar 23 persen iklan promosi kosmetik yang tidak memenuhi ketentuan. Dari keseluruhan angka tersebut, 77 persennya berasal dari media online termasuk dengan media sosial, TikTok, Youtube, hingga e-commerce.
Ia menuturkan bahwa BPOM tidak akan tinggal diam dan bakal memberikan sanksi administratif pada produsen maupun personil yang melakukan promosi kosmetik abal-abal. Reri juga mengimbau influencer kecantikan untuk terus bisa memberikan informasi soal bahaya kosmetik 'abal-abal'.
"Harus patuh pada aturan, jangan pansos untuk mendapatkan likes sebanyak-banyaknya, tapi mendiskreditkan penyampaian informasi yang tidak benar kepada masyarakat," ujarnya.
"Kerjasama dengan seluruh asosiasi ke depan kita perkuat dengan BPOM RI, mengawal daya saing produk lokal indonesia tidak bekerja sendiri. Review-review yang tidak bertanggung jawab itu luar biasa, bener nggak itu?" tambahnya lagi.











































