Viral kisah mahasiswa di Bandung yang berjuang melawan kanker limfoma atau kanker darah yang memicu pembengkakan kelenjar getah bening (Limfadenopati). Pada 2018 sejak masih SMP, pria bernama Hans Christopher itu mengaku kerap merasa aneh pada tubuhnya karena mengeluhkan sering 'beser' atau buang air kecil.
Pada saat itu ia juga mengalami penurunan berat badan secara drastis, bahkan sampai terlihat sangat kurus. Lantaran merasa ada yang aneh pada dirinya, Hans memutuskan untuk pergi ke dokter.
Awalnya dokter mengira Hans terkena Hernia atau kondisi saat organ dalam tubuh menonjol melalui dinding otot atau jaringan di sekitar tubuhnya. Hal ini dikarenakan adanya benjolan di perut sebelah kirinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terus coba dicek di USG dan dirujuk lagi ke onkologi baru di situ dia ngeliat 'ini kayaknya bukan bukan hernia deh'. Disuruh lanjut untuk CT Scan dan biopsi," imbuhnya, saat dihubungi detikcom, Senin (23/10/2023).
Hans bercerita, pada saat itu ia kesulitan untuk menjalani CT Scan dan biopsi karena antrian yang penuh di sejumlah rumah sakit. Dirinya juga mengaku sulit mengklaim asuransi untuk menjalani perawatan. Ia akhirnya memutuskan ke Singapura untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut, seperti PET CT Scan.
Berdasarkan hasilnya, ternyata memang ada benjolan yang abnormal di perut sebelah kirinya dan sudah mulai menjalar ke perut bagian atas. Hans langsung menjalani biopsi setelah mengetahui adanya benjolan abnormal di bagian perutnya. Menurutnya, metode ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan sel dan menentukan perawatan atau treatment untuk ke depannya.
"Nah, sudah tahu apa terus dokternya bilang kayaknya perlu di kemoterapi. Sebenarnya bisa juga kalau kanker atau tumor langsung diangkat dengan operasi. Cuma dokternya nggak berani jamin, itu bisa jadi operasi besar karena posisinya bener-bener udah banyak banget di tubuh. Dia nggak bisa jamin juga bakal 100 persen sembuh kalau dioperasi karena pasti ada yang ketinggalan gitu," katanya.
"Akhirnya ya mau nggak mau dikemoterapi sih. Waktu kemoterapi pertama itu ada penolakan dari badan. Mungkin badannya kaget ya karena obat keras. Kalau saya, awal-awal proses kemoterapi itu pasti disuntik dulu. Tapi, mungkin beda beda, spesifik sakitnya apa kan pasti beda penanganannya. Cuma kalau saya sendiri itu saya disuntik dulu di bagian tulang sumsum belakang," sambung Hans.
Hans mengatakan seharusnya menjalani kemoterapi sebanyak delapan kali. Namun pada kemoterapi keempat, dokter menyebut sel-sel kanker yang ada di tubuhnya sudah tak lagi kelihatan. Karena hal itu, ia hanya menjalani enam kali prosedur kemoterapi untuk memastikan sel kanker tersebut benar-benar 'bersih' dari tubuhnya.
Kini dirinya sudah dinyatakan remisi kanker, artinya sudah tak ada lagi sel-sel kanker yang terdeteksi di tubuh pengidapnya. Meski begitu, Hans tetap rutin check-up ke dokter untuk mengetahui kondisi kesehatannya.
"Sebenarnya setelah kemo ke-6 dokter bilang 'ini udah bener-bener sembuh' terus saya mastiin kan 'dok, ini emang udah sembuh total atau ada kemungkinan balik lagi, relapse'. Ternyata kemungkinan relapse nya di 0,0 sekian persen, jadi dia bilang kemungkinannya sangat sangat kecil. Hampir bisa dibilang sembuh total," ucapnya.
"Sekitar 5 tahun sejak aku mengidap itu dan akhirnya sembuh total. Dokternya juga bilang nggak perlu datang lagi ke RS," imbuhnya lagi.
(suc/suc)











































