Siasat Kemenkes RI Atasi Sengkarut Antrean Mengular hingga Minim Nakes di RS

Siasat Kemenkes RI Atasi Sengkarut Antrean Mengular hingga Minim Nakes di RS

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Senin, 30 Okt 2023 21:25 WIB
Siasat Kemenkes RI Atasi Sengkarut Antrean Mengular hingga Minim Nakes di RS
Foto: Getty Images/Tempura
Jakarta -

Antrean panjang di sejumlah rumah sakit menjadi potret nyata akses masyarakat ke fasilitas kesehatan Indonesia belum merdeka.

Banyak pasien tidak tertolong imbas keterbatasan faskes. Jangankan perkara canggih, alatnya saja belum memadai. Ditambah lagi, persoalan kekurangan tenaga dokter dan nakes.

Salah satu yang krusial, terkait kasus anak pengidap jantung bawaan (PJB). Demi menyiapkan bonus demografi 2045 mendatang, kesehatan mereka menjadi kunci utama di balik produktivitas negara yang kemudian berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah punya 'PR' besar. Bagaimana tidak, Kementerian Kesehatan RI mencatat setiap tahunnya ada 12 hingga 15 ribu anak lahir dengan penyakit jantung bawaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari total tersebut, baru 6 ribu anak yang bisa mendapatkan tindakan operasi. Sisanya? Bak mengandalkan keajaiban lewat doa. Selain nihil alat mumpuni, jumlah dokter bedah hanya berkisar lebih dari 160 dokter di penjuru Tanah Air. Jika dirinci lebih lanjut, hanya 17 di antaranya yang terjun sebagai spesialis bedah jantung anak.

"Kita sudah 77 tahun merdeka. Masa sih masih 9.000 bayi harus meninggal kelainan jantung yang bisa disembuhkan, tidak bisa tertangani, karena tidak ada alat dan tidak ada dokter spesialis," sentil Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam beberapa kali kesempatan.

ADVERTISEMENT

Beruntung, jika pasien cepat mendapatkan rujukan langsung ke RS rujukan nasional. Bagaimana dengan pasien di daerah dengan segala keterbatasan? Terlambat dirujuk, taruhannya adalah nyawa.

Kisah Pilu Ibu Membawa Anak ke Ibu Kota

Seperti yang dikhawatirkan Rika, wanita 23 tahun asal Sukabumi. Kabar tak mengenakkan datang saat anaknya yang baru memasuki usia 9 bulan, mulai mengeluhkan gejala batuk, pilek, bahkan sesak napas yang tak kunjung mereda.

Diminta untuk rutin menjalani pengobatan, Rika bolak-balik dokter umum selama dua bulan. Namun, kondisinya tak banyak berubah. Merasa ada yang tak beres, ia memutuskan untuk langsung membawa putranya dirawat di rumah sakit.

"Putra saya masih sering batuk, pilek dan sesak. Setelah itu saya inisiatif sendiri, dengan membawa ke rumah sakit, di sana dicek darah lagi, hasilnya anak saya mengidap penyakit lain, selain dari radang paru-paru ternyata punya penyakit lain yaitu anemia," cerita Rika, saat dihubungi Minggu (29/10/2023).

Dokter kala itu menyebut putranya mengalami komplikasi, sampai menjalani perawatan intensif kurang lebih satu pekan, kemudian diperbolehkan pulang.

"Namun selama seminggu di rumah, anak saya kembali mengalami batuk, sesak, dan panas. Dirawat kembali jadinya, ketika dicek darah lagi, HB anak saya rendah, harus melakukan transfusi darah, selama dirawat hampir selama 3 minggu, kondisi anak saya tak kunjung membaik," sambung dia.

Meski akhirnya demam sempat mereda sehingga proses transfusi darah bisa kembali dilanjutkan, Rika dibuat terkejut saat suhu anaknya mendadak tinggi nyaris 40 derajat celcius. Anak Rika kala itu juga mengalami step atau kejang-kejang. Ia kemudian memutuskan untuk membawa anaknya dirujuk ke RS lain di Sukabumi.

"Inisiatif sendiri lagi untuk paksa pulang, karena keadaan anak saya sudah mengkhawatirkan. Pada hari itu saya langsung pulang ke rumah dan lanjut membawa anak saya, ke rumah sakit di kota, di sana anak saya langsung mendapat tindakan dan dirawat inap selama seminggu. Alhamdullilah selama itu anak saya membaik dan berat badannya naik sampai 2 kilogram," kata dia.

Diagnosis lain yang kemudian mengejutkan Rika, rupanya selama ini putranya mengidap Atrial Septal Defect atau kebocoran serambi jantung akibat penyakit jantung bawaan. Putra Rika harus segera mendapatkan penanganan sehingga dirujuk langsung ke RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.

Nihil RS yang menyanggupi penanganan kasus anak jantung bawaan lantaran keterbatasan alat.

Imbasnya, beban Rika bertambah, biaya berobat hingga perjalanan otomatis menjadi berkali lipat. Sebagai single parent di tengah keterbatasan ekonomi, Rika terpaksa membawa anaknya ke Ibu Kota dengan transportasi umum, bahkan sempat memakai truk untuk berangkat ke Ciawi dari Sukabumi, kemudian melanjutkan perjalanan dari Bogor ke Jakarta.

"Waktu itu untuk ke Jakarta saya sampai naik truk ditemani Ibu saya, untuk membawa putra saya, alhamdulillah walaupun hanya sampai Ciawi, hingga dikasih uang oleh pengemudi truknya, bukannya saya yang ngasih karena numpang," ceritanya.

Kemenkes RIAntrean Layanan di RS Foto: Infografis detikHealth

Rika, hanya menjadi satu dari sekian banyak gambaran sulitnya mengakses pelayanan kesehatan. Data di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita mencatat lebih dari 300 anak setiap tahunnya lahir dengan penyakit jantung bawaan (PJB). Banyak dari mereka yang terpaksa menunggu jadwal operasi selama kurang lebih enam bulan.

Bukan tanpa sebab, keterisian bed occupancy rate (BOR) ruang NICU seringnya melampaui 90 persen. Pasalnya, banyak anak membutuhkan perawatan lebih lama lantaran bobot tubuh berada di bawah 3 kg. Sementara untuk melakukan operasi, berat badan anak harus melampaui angka tersebut dan ini menjadi persyaratan utama.

''Ruangan NICU BOR-nya lebih dari 90 persen, apabila ini keluar lebih cepat, maka NICU ini bisa dipakai oleh bayi-bayi lain sehingga bisa lebih baik lagi flownya, antriannya,'' beber Direktur Utama RSAB Harapan Kita, dr Ockti Palupi Rahayuningtyas, MPH, MH Kes, beberapa waktu lalu.

dr Ockti menyebut pihaknya kemudian membuka layanan baru kateterisasi radiologi intervensi bayi dan anak yang memungkinkan bayi ditindak langsung melakukan operasi dengan harapan memangkas waktu rawat inap lebih cepat, sehingga pasien tidak harus menunggu berbulan-bulan.

NEXT: Siasat Kemenkes RI

Perluas Layanan Cathlab

Melalui transformasi kesehatan, Kemenkes RI mengupayakan perbaikan layanan primer hingga rujukan. Layanan kateterisasi jantung atau cathlab kemudian dibuka di 514 kabupaten/kota demi membantu perawatan bayi baru lahir dengan kondisi PBJ di NICU. Waktu perawatan bisa dipangkas dari yang sebelumnya membutuhkan waktu rata-rata selama dua bulan, menjadi hanya 10 hari.

Selain itu, pemasangan cathlab di seluruh wilayah juga diprioritaskan untuk operasi ring jantung yang semula belum bisa dilakukan di seluruh daerah. Mengingat, lebih dari 200 ribu orang meninggal setiap tahun dengan kisaran pembiayaan terbesar dibandingkan penyakit lain, yakni mencapai Rp 9 triliun.

Hal ini juga menjadi salah satu upaya untuk memenuhi waktu 'golden time' atau waktu krusial penanganan kasus penyakit jantung untuk pasien di daerah lantaran tidak perlu menempuh jarak yang memakan waktu berjam-jam atau berhari-hari untuk kemudian mendapatkan penindakan.

Target Kemenkes RI untuk mempercepat peningkatan cakupan pelayanan RS rujukan, khususnya untuk penyakit jantung, hingga stroke, rencananya rampung di 50 persen dari kab/kota seluruh Indonesia per 2025 dan baru tersebar secara menyeluruh alias 100 persen di seluruh kab/kota yakni 2027 mendatang.

Skrining Penyakit Jantung Bawaan di Puskesmas

Kemenkes RI membuka fasilitas skrining penyakit jantung bawaan di puskesmas dengan pulse oximetry neonatus. Hal ini menjadi upaya di balik peningkatan kesehatan ibu dan anak, untuk mencegah risiko terjadinya kondisi fatal dengan pemeriksaan dini.

Pulse oximetry neonatus atau pemeriksaan oksimetri denyut bayi baru lahir secara umum bisa mengidentifikasi bayi dengan kelainan jantung bawaan kritis yang mungkin terlewatkan saat di USG atau pemeriksaan pascakelahiran.

Selain itu, sederet kesiapan yang diupayakan Kemenkes RI di level posyandu hingga puskesmas juga melakukan pemantauan tumbuh kembang anak di posyandu dengan alat antropometri terstandar, pemeriksaan kehamilan (ANC) dari 4 kali menjadi 6 kali, termasuk 2 kali USG dengan dokter pada trimester 1 dan 3, lalu screening kanker payudara dengan USG.

Kabar baik lainnya, masyarakat saat ini juga sudah bisa mengakses skrining gratis di puskesmas, utamanya untuk 14 penyakit berikut:

  • Hipotiroid kongenital
  • Thalasemia
  • Anemia
  • Stroke
  • Serangan jantung
  • Hipertensi
  • Penyakit paru obstruksi kronik
  • Tuberkulosis
  • Kanker paru
  • Hepatitis
  • Diabetes
  • Kanker payudara
  • Kanker serviks
  • Kanker usus

Minim Dokter Spesialis di Daerah

Selama ini, dalam setahun Indonesia hanya mampu memproduksi sekitar 2.700 dokter. Pasalnya, dari 92 fakultas kedokteran, baru 21 di antaranya yang mampu mencetak SDM dokter. Dengan perhitungan demikian, butuh waktu puluhan tahun untuk memenuhi kekurangan jumlah dokter spesialis yang mencapai 30 ribu tenaga dokter. Estimasinya bahkan mencapai 10 tahun, jika ingin memenuhi standar ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) soal rasio dokter satu per seribu penduduk.

Menurut Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI drg Arianti Anaya MKM, ada 40 persen RSUD yang belum memiliki dokter spesialis dasar secara lengkap, termasuk spesialis anak, spesialis anestesi, bedah radiologi, sampai patologi klinik. Sebutlah ahli jantung, sedikitnya di tiga wilayah Timur yakni Papua, Maluku Utara, hingga Sulawesi Barat hanya memiliki spesialis jantung 0,01 per seribu penduduk.

Kisah yang dialami Tonny Frit Yoweni dari Teluk Bintuni, Papua Barat menjadi bukti nyata keterbatasan SDM di daerah. Tony perlu dirujuk ke RS bukan hanya karena keterbatasan alat di daerah, dirinya kemudian rela terbang ke Jakarta demi mengobati katup jantung bolong yang diidapnya.

"Kalau untuk saya pribadi dan keluarga, kita sehat itu kenapa harus pikir? Kalau mau sehat itu kenapa harus berpikir? Lebih bagus itu kita berobat sebelum terlambat. Jadi untuk keluarga, saya jauh-jauh dari sana sampai ke sini," kata dia saat ditemui beberapa waktu lalu di RS Harapan Kita Jantung.

Setibanya di Jakarta, Tonny mengaku memang sempat putus asa untuk mencari dana demi mencukupi biaya hidup semasa pengobatan. Dalam satu bulan, biaya tinggal di Jakarta kurang lebih sekitar Rp 3 juta. Sisanya, sebetulnya sudah ter-cover BPJS Kesehatan.

"Memang beberapa waktu saat sudah di sini? Saya putus asa, prosesnya kan berjalan karena berjangka. Di sini kan biaya hidupnya besar, kalau untuk fasilitas dan pengobatan di rumah sakit tidak ada masalah, semua dijamin oleh BPJS," cerita Tonny.

"Cuma biaya hidup di luar itu saja yang kami pikir. Tapi dengan semangat, dukungan doa dari orangtua, makanya saya bisa sampai operasi."

Tonny menjalani operasi di RS Harapan Kita. Berjalan lancar dan tinggal melewati masa pemulihan.

Berangkat dari situ, Kemenkes RI melakukan transformasi besar-besaran melalui UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, terutama di proses perizinan praktik. Persyaratan STR dan SIP yang semula perlu diperbarui selama lima tahun sekali, dinilai memberatkan banyak pihak, terutama dari biaya yang dikeluarkan untuk iuran keanggotaan organisasi profesi, biaya seminar, sampai 'ongkos' calo.

Pemerintah kemudian resmi menerapkan STR seumur hidup. Bak angin segar bagi banyak tenaga dokter, mereka tidak perlu lagi memperbarui STR. Otomatis diperpanjang menjadi seumur hidup, tanpa persyaratan, terkecuali administrasi.

Mereka yang memiliki STR tetapi masa berlakunya sudah 'kedaluwarsa' alias tidak pernah diurus selama bertahun-tahun, tidak bisa langsung diproses masuk kategori seumur hidup. Otomatis, yang bersangkutan harus memulai kembali sejumlah persyaratan untuk mengantongi STR seperti ijazah pendidikan di bidang kesehatan atau sertifikat profesi.

"Pemerintah sepakat dengan DPR RI, penyederhanaan proses perizinan melalui penerbitan STR yang berlaku seumur hidup dengan kualitas yang terjaga dari tenaga kesehatan. Dari kriminalisasi menjadi tenaga kesehatan yang dilindungi," demikian pernyataan Menkes pasca UU Kesehatan baru diresmikan.

Halaman 3 dari 2
(naf/naf)

Berita Terkait