Pilu Derita Warga Gaza Sebulan Lebih Krisis Air-Pangan Imbas Digempur Israel

Pilu Derita Warga Gaza Sebulan Lebih Krisis Air-Pangan Imbas Digempur Israel

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Jumat, 10 Nov 2023 21:00 WIB
Pilu Derita Warga Gaza Sebulan Lebih Krisis Air-Pangan Imbas Digempur Israel
Foto: AP/Hatem Moussa
Jakarta -

Tercatat lebih dari sebulan warga Gaza menghadapi krisis air, makanan, dan nihil akses ke layanan kesehatan. Sumber sanitasi dan yang lainnya mencapai titik puncak krisis.

Pengeboman intensif Israel di Jalur Gaza menewaskan 10.328 warga Palestina, termasuk di antaranya 4.237 anak-anak, sejak 7 Oktober. Kementerian Kesehatan di Gaza menyebutkan jumlah orang yang terluka bertambah menjadi 25.965 kasus.

Pada 9 Oktober, militer Israel mengumumkan blokade total terhadap wilayah yang sudah terkepung, termasuk larangan air dan makanan. Dua hari kemudian, listrik padam dan masuknya bantuan serta bahan bakar dibatasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diperkirakan 1,5 juta orang terpaksa mengungsi dan kondisi mereka semakin genting karena kurangnya pasokan kebutuhan pokok.

Krisis Air Mengkhawatirkan

ADVERTISEMENT

Kelompok hak asasi manusia telah memperingatkan selama bertahun-tahun tentang memburuknya situasi air di Jalur Gaza. Pada 2021, Institut Global untuk Air, Lingkungan dan Kesehatan dan Monitor Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania menggambarkan air di Gaza tidak dapat diminum, sekitar 97 persen airnya tidak layak untuk dikonsumsi.

Saat ini, kurangnya listrik menyebabkan instalasi desalinasi dan pengolahan air limbah tidak dapat berjalan, sehingga semakin mengurangi akses terhadap air minum aman.

Pada 4 November, Israel menghancurkan reservoir air di Gaza utara serta tangki air umum yang memasok ke beberapa lingkungan di selatan.

Banyak orang meminum air tercemar, asin, dan mengantre berjam-jam dengan harapan mendapatkan air yang layak diminum.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut dibutuhkan antara 50 dan 100 liter air per orang dalam hari, tetapi mereka memperkirakan rata-rata alokasi air harian di Gaza hanya tiga liter untuk semua kebutuhan sehari-hari, termasuk minuman dan kebersihan.

Kekurangan air berdampak pada tubuh, pertama pada ginjal, hingga akhirnya jantung. Dehidrasi terjadi dengan cepat pada anak-anak dan seringkali berujung fatal. Seseorang dapat mengalami sakit kepala ringan dan denyut nadi berdebar kencang karena jantung harus memompa lebih cepat untuk mempertahankan oksigen.

Krisis Pangan

Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mengatakan 80 persen populasi di Jalur Gaza sudah mengalami kerawanan pangan sebelum dimulainya serangan pada tanggal 7 Oktober. Hampir separuh populasi dari 2,3 juta orang bergantung pada bantuan makana dari Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).

Sebelum tanggal 7 Oktober, rata-rata sekitar 500 truk diizinkan masuk ke Gaza setiap hari.

Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) PBB, sejak 21 Oktober, setidaknya 451 truk telah memasuki Gaza, 158 di antaranya membawa makanan, termasuk ikan kaleng, pasta, tepung terigu, pasta tomat kalengan, dan kacang kalengan. Sementara 102 truk di antaranya membawa perbekalan kesehatan.

Truk-truk yang tersisa membawa muatan campuran. Pasokan bahan bakar masih belum diperbolehkan masuk ke Gaza, yang berdampak serius pada rumah sakit yang masih beroperasi. Hal ini tentu membahayakan nyawa ribuan orang.

NEXT: Tak Ada Akses ke Layanan Kesehatan

WHO menyebut perempuan dan anak-anak menanggung beban pemboman fasilitas kesehatan di Gaza dan kurangnya pasokan. Perempuan melahirkan bayi di mana pun mereka bisa, tidak dapat mengakses fasilitas kesehatan untuk melahirkan di lingkungan yang bersih dan dokter harus melakukan operasi caesar tanpa anestesi.

Setidaknya 180 wanita melahirkan setiap hari. Kematian ibu dan bayi baru lahir meningkat karena kurangnya perawatan kritis.

Tempat penampungan UNRWA yang penuh sesak, kasus infeksi pernapasan akut, diare dan cacar air meroket. Saat fasilitas melebihi kapasitas, masyarakat kini hidup di jalanan. WHO telah melaporkan setidaknya 22.500 kasus infeksi pernapasan akut dan 12.000 kasus diare, dapat berakibat fatal pada anak-anak yang mengalami dehidrasi dan kekurangan makanan.

Dokter harus menggunakan cuka sebagai desinfektan dan sekrup serta jarum jahit untuk operasi.

Dr Ahmed Mokhallalati dari Rumah Sakit al-Shifa mengatakan sistem kesehatannya tidak berfungsi dan perawatan di tempat steril terbatas.

"Lalat memenuhi rumah sakit, Anda akan melihat cacing keluar dari luka orang."

Satu-satunya rumah sakit kanker di Gaza terpaksa ditutup karena kekurangan bahan bakar, dan pasien dengan kebutuhan kritis seperti dialisis, juga bayi yang membutuhkan peralatan perawatan intensif sangat terkena dampaknya.

Sejak 3 November, pembangkit listrik utama RS al-Shifa dan RS Indonesia berhenti berfungsi. Pesawat-pesawat tempur Israel terus menyerang rumah sakit dan area di sekitarnya, tempat para pasien, petugas kesehatan, dan ratusan orang yang melarikan diri dari konflik menemukan tempat berlindung.

Halaman 3 dari 2
(naf/kna)

Berita Terkait