Baru-baru ini dunia kesehatan Tanah Air dibuat heboh oleh nyamuk wolbachia yang disebut-sebut efektif untuk menurunkan penyebaran kasus demam berdarah dengue (DBD). Meski begitu, penggunaan nyamuk wolbachia di Indonesia menuai banyak pro dan kontra.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah menjelaskan efektivitas teknologi nyamuk wolbachia sudah terbukti di sejumlah negara. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan efektivitas wolbachia sudah dilakukan penelitiannya sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) di Yogyakarta, dan terbukti mampu menurunkan angka kasus DBD di kota tersebut.
Kendati demikian, teknologi nyamuk wolbachia masih mendapat sejumlah penolakan. Salah satunya datang dari masyarakat di Bali karena khawatir bisa memicu munculnya penyakit baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut fakta-fakta seputar nyamuk wolbachia di Indonesia.
1. Apa Itu Nyamuk Wolbachia?
Teknologi nyamuk wolbachia merupakan salah satu upaya mengendalikan penyakit dengan memasukkan bakteri wolbachia ke dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti. Wolbachia merupakan bakteri yang dapat melumpuhkan virus dengue penyebab DBD (Demam Berdarah Dengue) yang ada dalam tubuh nyamuk. Adapun bakteri tersebut dimasukkan ke dalam tubuh nyamuk lewat metode perkawinan.
"Jadi wolbachia itu kayak bakteri dimasukkan ke dalam nyamuk. Jadi nyamuk itu nanti di dalamnya ada wolbachia-nya," ujar dr Nadia kepada detikcom, Rabu (31/5/2023).
2. Terbukti Efektif di Sejumlah Negara
Efektivitas nyamuk wolbachia sudah teruji di beberapa negara. Adapun negara-negara tersebut di antaranya Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Meksiko, Kiribati, Kaledonia Baru, dan Sri Lanka.
Selain negara-negara tersebut, efektivitas teknologi nyamuk wolbachia juga sudah dibuktikan di Malaysia. Proyek Wolbachia Malaysia yang diluncurkan Institute for Medical Research (IMR), sebuah lembaga penelitian Kemenkes Malaysia, pada 2017 berhasil menurunkan kasus DBD secara signifikan.
Tak hanya Malaysia, Singapura juga sudah merasakan sendiri manfaat teknologi nyamuk wolbachia. Bahkan, Singapura membangun sebuah pabrik di Ang Mo Kio untuk mengembangbiakkan lebih dari 300 juta nyamuk wolbachia. Teknologi nyamuk wolbachia juga digunakan untuk menekan populasi nyamuk Aedes aegypti di sana.
3. Sudah Diuji di Yogyakarta
Di Indonesia, efektivitas nyamuk wolbachia sudah pernah diteliti pada 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) di Yogyakarta dengan dukungan filantropi yayasan Tahija. Penelitian dilakukan melaui fase persiapan dan pelepasan aedes aegypti ber-wolbachia dalam skala terbatas (2011-2015).
Uji coba penyebaran nyamuk ber-wolbachia juga sudah dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada tahun 2022. Hasilnya, di lokasi yang telah disebar nyamuk wolbachia terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen, dan menurunkan proporsi dirawat di rumah sakit sebesar 86 persen.
"Jumlah kasus di Kota Yogyakarta pada bulan Januari hingga Mei 2023 dibanding pola maksimum dan minimum di 7 tahun sebelumnya (2015-2022) berada di bawah garis minimum," terang Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Emma Rahmi Aryani.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Lurah Patangpuluhan Yogyakarta, Sigit Hartobudiono.
"Masyarakat pada awalnya memang ada kekhawatiran karena pemahaman dari masyarakat itu nyamuk ini dilepas kok bisa mengurangi (DBD). Tapi seiring berjalan dan kita sudah ada edukasi, ada sosialisasi, sekarang masyarakat justru semakin paham, bahwa sebenarnya teknologi ini untuk mengurangi DBD," tuturnya.
4. Ditolak Masyarakat Bali
Meski sudah teruji di berbagai negara, teknologi nyamuk wolbachia masih mendapat penolakan di Tanah Air. Penolakan salah satunya datang dari masyarakat di Bali.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali, Dewa Made Indra mengungkapkan metode wolbachia masih belum ada pengujian yang komprehensif. Akibatnya, pemprov kesulitan menjawab pertanyaan masyarakat yang khawatir teknologi nyamuk wolbachia malah memunculkan penyakit baru.
"Ini kan penting untuk dijawab, nah untuk menjawab ini ilmu pengetahuan yang akan menjawab," ujarnya, dikutip dari detikbali, Minggu (19/11).
5. Hasil Rekayasa Genetika?
Selain penolakan oleh sejumlah masyarakat, muncul pula tudingan yang mengatakan nyamuk wolbachia adalah hasil rekayasa genetika. Menanggapi tudingan tersebut, peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pun angkat bicara.
Prof dr Adi Utarini, MSc, MPH, PhD, yang ikut meneliti nyamuk wolbachia menegaskan nyamuk wolbachia bukanlah hasil rekayasa genetika seperti yang dituduh.
"Bakteri wolbachia maupun nyamuk sebagai inangnya bukanlah organisme hasil dari modifikasi genetik yang dilakukan di laboratorium. Secara materi genetik baik dari nyamuk maupun bakteri wolbachia yang digunakan, identik dengan organisme yang ditemukan di alam" tegas peneliti UGM Prof dr Adi Utarini MSc, MPH, PhD, dalam keterangan resmi di laman Kemenkes.
Ia menambahkan, bakteri wolbachia hanya dapat hidup di dalam tubuh serangga, termasuk nyamuk. Bakteri wolbachia pun tidak bisa bertahan lama di luar sel tubuh serangga, serta tidak bisa mereplikasi diri tanpa bantuan serangga inangnya. Wolbachia juga telah ditemukan secara alami dalam tubuh nyamuk Aedes albopictus.
Simak Video " Menkes Heran Nyamuk dengan Bakteri Wolbachia Dianggap Bio Weapon"
[Gambas:Video 20detik]
(ath/kna)











































