Beberapa waktu terakhir inovasi penyebaran nyamuk wolbachia tengah menjadi sorotan publik. Teknologi ini diklaim secara efektif dapat menurunkan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada tahun 2022, terbukti bahwa teknologi ini mampu menekan kasus DBD hingga 77 persen dan menurunkan angka perawatan di rumah sakit sebesar 86 persen.
Pada dasarnya metode ini dilakukan menggunakan nyamuk aedes aegypti yang diinfeksi dengan bakteri wolbachia. Tujuannya adalah untuk mengendalikan penularan virus dengue yang menjadi penyebab DBD, karena wolbachia di dalam tubuh nyamuk akan berkompetisi dengan virus Dengue.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait dengan kekhawatiran yang terjadi di tengah masyarakat, peneliti Bakteri Wolbachia dan Demam Berdarah Dengue dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Adi Utarini MSc, MPH, PhD menuturkan bahwa bakteri wolbachia tidak dapat berpindah ke manusia. Ia menuturkan bahwa bakteri tersebut akan mati jika keluar dari sel tubuh serangga.
"Bakteri wolbachia di dalam tubuh nyamuk tidak bisa berpindah ke serangga, hewan, maupun manusia lain," ucap peneliti wolbachia yang akrab disapa Prof Uut ini, dalam media briefing, Senin (20/11/2023).
"Ini sudah dibuktikan dan tim kami sendiri yang memberi makan nyamuk ber-wolbachia dan kita periksa juga masyarakat yang wilayahnya sudah hampir 10 tahun dilepasi nyamuk wolbachia. Wolbachia tidak bisa masuk ke dalam tubuh," sambungnya.
Tidak Efektif pada Temperatur Tinggi
Namun begitu, penerapan metode nyamuk ber-wolbachia tidak selalu berhasil menurunkan kasus DBD. Prof Uut menuturkan, salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitasnya adalah faktor kepadatan penduduk dan jumlah kasus DBD di suatu wilayah.
"Teknologi ini bisa bekerja secara efektif pada kondisi di mana kepadatan penduduknya tinggi dan kasus dengue tinggi," jelas Prof Uut.
"Jadi wolbachia ini tidak diterapkan di seluruh wilayah gitu tidak ya. Makanya Kemenkes dalam pilot implementasinya itu bertahap. Mereka memilih wilayah yang denguenya tinggi dan kepadatannya tinggi," sambungnya.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti Dr Riris Andono Ahmad BMedSc, MPH, PhD menambahkan bahwa faktor lain yang dapat mempengaruhi efektivitas pengendalian DBD dengan nyamuk ber-wolbachia adalah suhu wilayah. Ia mencontohkan pada kasus di Vietnam, gelombang panas yang terjadi di beberapa wilayah menurunkan prevalensi wolbachia pada populasi nyamuk aedes aegypti.
"Selain itu negara panas lain seperti Mexico itu mereka menggunakan wolbachia dengan strain yang berbeda. Namun secara umum di Indonesia relatif masih bisa menggunakan strain yang sama," pungkasnya.
(avk/kna)











































