Pro-Kontra Dampak Jangka Panjang Wolbachia, Ilmuwan UGM Sebut Risiko 'Dapat Diabaikan'

Pro-Kontra Dampak Jangka Panjang Wolbachia, Ilmuwan UGM Sebut Risiko 'Dapat Diabaikan'

Suci Risanti Rahmadania - detikHealth
Rabu, 22 Nov 2023 06:00 WIB
Pro-Kontra Dampak Jangka Panjang Wolbachia, Ilmuwan UGM Sebut Risiko Dapat Diabaikan
Ilustrasi nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia (Foto: Getty Images/iStockphoto/PongMoji
Jakarta -

Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) menyebar nyamuk wolbachia atau nyamuk aedes aegypti yang diinfeksi bakteri wolbachia untuk menekan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di lima kota Indonesia. Adapun lima wilayah kota yang disebar nyamuk wolbachia itu adalah Jakarta Barat (DKI Jakarta), Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Bontang (Kalimantan Timur), dan Kupang (NTT).

Kemenkes menyatakan penyebaran nyamuk wolbachia ke lima kota itu diatur lewat Surat Keputusan Menteri kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaraan Pilot project Implementasi Wolbachia sebagai inovasi penanggulangan demam berdarah dengue (DBD).

Sebagaimana diketahui, DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Pemerintah bahkan sudah melakukan berbagai upaya sejak tahun 1970, mulai dari fogging dan sebagainya. Akan tetapi, upaya yang dilakukan tersebut belum sepenuhnya bisa mengendalikan penyakit DBD di Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karenanya, kehadiran inovasi teknologi wolbachia ini diharapkan bisa membantu sebagai pelengkap upaya program pemerintah untuk menekan angka penyebaran DBD.

"Melengkapi upaya yang sudah dilakukan dalam program penanggulangan dengue di Indonesia," ucap Peneliti Bakteri Wolbachia dan Demam Berdarah Dengue dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM), Prof Dr Adi Utarini, M Sc, MPH, PhD dalam media briefing, Senin (20/11/2023).

ADVERTISEMENT

Adapun teknologi wolbachia sendiri sudah dilakukan di Indonesia sejak 2011. Fase pertama dari pengujian dilakukan untuk membuktikan keamanan dan kelayakan dari teknologi wolbachia. Setelah keamanan dan kelayakan terbukti, riset dilanjutkan pada fase kedua dengan pelepasan nyamuk berskala kecil, yakni di dua dusun di Sleman dan dua dusun di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pelepasan nyamuk tersebut juga tidak dilakukan secara serta-merta langsung disebar. Tetapi dilakukan dengan persetujuan etik dari penduduk sekitar.

"Kami mengawali penelitian ini di Yogyakarta, 2011, itu kita juga berusaha membuktikan kalau di Yogyakarta ada berapa banyak dan ternyata menemukan di Yogyakarta wolbachia ada lebih kurang di 50 persen serangga yang ada di alam," imbuh Prof Utarini yang akrab disapa Prof Uut.

"Dan di fase dua ini menghasilkan data bahwa wolbachia itu memang bisa berkembang biak secara alami di populasi alam," ucapnya lagi.

Dengan hasilnya yang secara garis besar risikonya dapat diabaikan maka kami berani melakukan studi tahap berikutnya, yaitu pelepasan berskala besarProf Dr Adi Utarini, M Sc, MPH, PhD - Peneliti Wolbachia UGM

Setelah itu, pengujian fase ketiga dilakukan pada 2016 dengan nyamuk wolbachia pada skala besar. Sebelum pembuktian dilakukan pada dampak teknologi, analisis risiko dijalankan terlebih dahulu oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti).

Pengujian terkait keamanan ini dilakukan secara independen oleh para pakar dari berbagai bidang yang dibentuk Kemenristek dan Dikti.

"Ini adalah tahapan yang sangat penting dilakukan yaitu dilakukan analisis risiko oleh Kemenristekdikti. Jadi ini bukan oleh kami ya. Kami juga memiliki penelitian-penelitian safety, tetapi yang kemudian melihat independen dari 20 pakar. Dan itu dibentuk oleh Kemenristek dan Dikti," imbuhnya.

"Dengan hasilnya yang secara garis besar risikonya dapat diabaikan maka kami berani melakukan studi tahap berikutnya, yaitu pelepasan berskala besar. Berskala besar ini adalah di kota Yogyakarta," sambungnya lagi.

Pada 2021, pengujian fase keempat dilakukan sebagai model implementasi. Pelepasan nyamuk Wolbachia pada pengujian fase ini dilakukan ke seluruh Kota Yogyakarta. Hasil pengujian menunjukkan penurunan insiden demam dengue hingga 77 persen dan menurunkan angka rawat inap terkait dengue sampai 86 persen.

Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi, Fakultas Kedokteran, kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Dr Riris Andono Ahmad, BMedSc, MPH, PhD mengutarakan, kebutuhan fogging atau pengasapan dengan insektisida terbukti menurun dari dampak pemanfaatan teknologi wolbachia. Hal ini membuat anggaran penanganan demam dengue bisa ditekan.

NEXT: Tanda tanya soal dampak jangka panjang

Lebih lanjut, Prof Uut menegaskan, inovasi teknologi ini sudah dibuktikan aman bagi manusia, hewan, dan lingkungan. Sebab, wolbachia yang ada di tubuh nyamuk aedes aegypti tak dapat berpindah ke serangga lain.

"Misalnya, serangga yang sangat hidup berdampingan aedes aegypti itu adalah nyamuk culex, itu kita sudah menunjukkan wolbachia ini tidak bisa berpindah ke serangga lain. Begitu pula tidak bisa berpindah ke manusia. Jadi dia tetap berada pada sel di nyamuk aedes aegypti," sambungnya.

Di sisi lain, studi yang dipublikasikan di The Lancet berjudul 'The double-edged sword effect of expanding Wolbachia deployment in dengue endemic settings', yang juga meneliti nyamuk wolbachia untuk menekan sejumlah penyakit termasuk DBD, menyatakan populasi nyamuk aedes aegypti bersifat heterogen dan pelepasan strain wolbachia secara nasional yang persilangan balik genetiknya berada pada lokasi tertentu akan menghasilkan homogenisasi populasi vektor yang tidak terduga.

Homogenisasi aedes aegypti pada skala geografis yang luas dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan dalam jangka panjang dengan mendorong perpindahan genetik dari sifat-sifat seperti kompetensi vektor yang lebih tinggi, kerentanan yang lebih rendah terhadap obat nyamuk dan insektisida, atau perilaku mencari inang dan menggigit yang lebih sering.

Data yang tersedia menunjukkan bahwa memastikan kepatuhan terhadap karakteristik lokal, khususnya kecocokan genetik antara nyamuk asli dan nyamuk yang dilepasliarkan, sangat penting untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya introgresi yang lebih cepat di lapangan, sehingga mewujudkan penghematan biaya dan waktu di seluruh dunia.

Mungkin ada banyak sekali sifat yang belum ditemukan selain resistensi insektisida yang mungkin mempengaruhi adaptasi lokal vektor, serta akan mempengaruhi keberhasilan strain wolbachia yang dilepaskan. Oleh karena itu, mengabaikan keragaman genetik demi memusatkan pemeliharaan nyamuk dengan wolbachia untuk pelepasliaran nasional dapat menimbulkan kerugian bagi pelepasliaran nyamuk di masa depan.

Studi jangka panjang mengenai dampak pelepasan nyamuk dengan genotipe homogen dalam skenario ekologi dan epidemiologi yang beragam tetap menjadi prioritas penelitian yang penting atau 'critical research priority', termasuk juga untuk pengambilan keputusan dan pengelolaan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk secara berkelanjutan.

Halaman 2 dari 2
(suc/up)
Pro Kontra Wolbachia
26 Konten
Nyamuk wolbachia disebar demi menekan angka kasus DBD. Meski terbilang efektif, metode ini juga tak lepas dari kritik pakar.

Berita Terkait