Tepat pada 1 Desember 2023 diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Tercatat sebanyak 630 ribu, termasuk 26 ribu orang di Indonesia meninggal karena AIDS.
Di tahun yang sama, tercatat ada sekitar 1,3 juta orang di seluruh dunia yang tertular HIV. Angka ini mencerminkan penurunan infeksi HIV sebesar 38 persen sejak satu dekade sebelumnya.
Namun, saat ini orang dengan HIV (ODHIV) di Indonesia tengah kesulitan dalam mengakses pengobatan anti-retroviral (ARV). Padahal, pengobatan itu sangat penting untuk menghambat pertumbuhan sel virus HIV di dalam tubuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur United Nations Programme on HIV (UNAIDS) untuk Indonesia Tina Boonto menjelaskan jika melihat cascade global, 1 dari 4 orang dengan HIV (ODHIV) tidak memiliki akses ke ARV. Sementara pada orang dengan AIDS (ODHA), hanya 1 dari 2 orang yang memiliki akses.
"Namun di Indonesia, gap-nya lebih besar, dengan 2 dari 3 ODHIV tidak memiliki akses ke ARV," ungkap Direktur UNAIDS untuk Indonesia Tina Boonto dalam keterangan yang diterima detikcom, Kamis (30/11/2023).
Kesulitan untuk mengakhiri permasalahan AIDS juga tidak luput dari kurangnya pemahaman masyarakat soal pentingnya penanganan HIV-AIDS. Padahal, komunitas dan masyarakat sipil memiliki peran penting untuk kampanye, pengobatan HIV, hingga memastikan hak-hak dasarnya terpenuhi.
Sebagai upaya untuk mengatasinya, UNAIDS meluncurkan laporan World AIDS Day dengan tema 'Let Communities Lead'. Ini dibentuk dengan harapan bisa mengakhiri ancaman AIDS di tahun 2030.
"Aktivisme komunitas selama lebih dari 40 tahun ini telah berhasil membuat breakthroughs dalam respons HIV, misalnya dalam memastikan life-saving medicines tersedia dan dapat diakses," beber Tina.
Tina berharap cara ini bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap stigma terhadap ODHIV. Tina mengatakan jika masih ada ODHIV yang mengalami diskriminasi, dapat melaporkannya pada komnas HAM.
Selain pusat pengaduan, ODHIV dan populasi kunci lainnya juga akan disediakan layanan dari berbagai sektor. Mulai dari bantuan hukum, psikososial, layanan pelaporan kekerasan berbasis gender (KBG), hingga hal atas kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi perempuan (HKSR).
"Sekarang, setiap orang yang mengalami diskriminasi berbasis HIV dapat mengajukan pelaporan dan pengaduan kepada Komnas HAM untuk mendapatkan akses ke keadilan dan upaya pemulihan hak," papar Tina.
"Yang tak kalah penting, implementasikan aturan dan hukum yang mendukung ruang bagi komunitas untuk beroperasi dan melindungi hak asasi manusia, termasuk semua populasi kunci dan ODHIV," tuturmya.
(sao/kna)











































