Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini merekomendasikan sejumlah negara untuk menaikkan tarif cukai minuman berpemanis. Pasalnya, kebiasaan dan pola makan tidak sehat memicu kenaikan penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke, hingga jantung.
Bahkan, catatan WHO menunjukkan lebih dari 8 juta orang meninggal karena pola makan tidak sehat. Meski ada 108 negara yang sudah mengenakan cukai pada minuman berpemanis dengan gula, tarifnya masih jauh lebih rendah dari yang diharapkan, yakni di 6,6 persen.
Indonesia bahkan belum menerapkan cukai minuman berpemanis. Disebut tengah dibahas untuk kemungkinan bisa diberlakukan mulai 2024. Pentingnya penerapan cukai minuman berpemanis sejalan dengan survei Yayasan Lembaga Kesehatan Indonesia (YLKI) di 10 kota meliputi Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Balikpapan, Makasar dan Kupang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Survei yang dilakukan dengan wawancara tersebut melakukan pemilihan responden secara acak berjenjang, mulai dari tingkat kelurahan, RT/RW, rumah tangga, dan individu. YLKI menyebut responden merupakan orang yang mengaku mengonsumsi minuman manis dalam kemasan selama sebulan terakhir.
Total responden yang terjaring YLKI sebanyak 800 orang, masing-masing RT dijaring 10 responden.
Bagaimana Temuannya?
"Anak dan remaja Indonesia hobi minuman manis dalam kemasan. Terbukti 25,9 persen anak usia kurang dari 17 tahun mengonsumsi MBDK (Minuman Berpemanis dalam Kemasan) setiap hari, bahkan 31,6 persen mengonsumsi 2-6 kali dalam seminggu. Data ini mengonfirmasi tingginya prevalensi penyakit diaebetes pada anak, yang menurut IDAI peningkatannya mencapai 60-70 persen. Tentu ini fenomena yang sangat mengkhawatirkan," sorot Ketua YLKI Tulus Abadi dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom Rabu (6/12/2023).
YLKI menilai salah satu pemicu anak intens mengonsumsi minuman manis adalah kemudahan akses. Mengacu hasil survei, ada 38 persen anak yang membeli minuman manis dalam kemasan (MBDK) di warung terdekat, sementara di minimarket 28 persen, supermarket 17 persen, sisanya membeli di fasilitas umum seperti rumah sakit hingga sekolah, yakni sebanyak 18 persen.
Bukan cuma akses, motivasi anak dan remaja di balik kebiasaan mengonsumi MBDK menjadi penentunya. Survei YLKI melihat 32,4 persen anak dan remaja membeli MBDK hanya karena penasaran, persentase terbanyak kedua yaitu 27,1 persen baru benar-benar memilih membeli MBDK merasa enak.
"Faktor ketiga adalah aspek harga sebesar 14,4 persen. Sedangkan aspek aspek lainnya meliputi influencer (6,4 persen), pengaruh anggota rumah tangga (5,8 persen), iklan di media masa (3,8 persen), aspek teman (3,6 persen), media sosial (3,4 persen), dan ada juga pengaruh tetangga, sebesar 3,3 persen," ungkap Tulus.
YLKI kemudian mengkaji lebih lanjut seberapa besar pemahaman responden pada risiko kebiasaan mengonsumsi MBDK. Hasilnya, 81 persen dari responden mengaku menyadari betul potensi terkena obesitas dan efek jangka panjang.
Ketika ditanya soal wacana cukai MBDK, 58 persen dari responden justru mendukung penggunaan cukai tersebut, meski tidak dipungkiri banyak pula yang menolaknya. Namun, secara persentase, masih lebih banyak ditemukan masyarakat yang mendukung wacana cukai MBDK.
"Pemerintah seharusnya tidak ambigu untuk mengenakan cukai pada MBDK, sebagai bentuk kebijakan untuk melindungi masyarakat dari tingginya prevalensi penyakit tidak menular, khususnya diabetes melitus. Pemerintah pun seharusnya tidak bergeming dengan upaya intervensi oleh pihak industri, tersebab pengenaan cukai pada MBDK tidak akan menggerus produksi MBDK. Karena toh efek dari pengenaan cukai tidak tidak terlampau signifikan dan konsumen akan bermigrasi menjadi konsumen AMDK (Air Minum Dalam Kemasan)," tegas Tulus.
Simak Video "Video: Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan Berlaku 2026!"
[Gambas:Video 20detik]
(naf/up)











































