Sejatinya, usia remaja dan dewasa muda adalah masa-masa paling produktif dan sehat dari segi kekuatan, kecepatan, kemampuan penalaran, dan segi lainnya. Namun sayangnya, para Gen Z di Indonesia tengah dihantui oleh krisis kesehatan mental. Bahkan saat ini, kasus bunuh diri di kalangan Gen Z kian meningkat.
Untuk membentuk ketahanan mental yang baik, support system atau dukungan dari lingkungan sekitar merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki. Tingkat stres yang berat sekalipun dapat teratasi apabila memiliki support system yang bagus dari orang tua, keluarga, teman-teman, atau komunitas pendukung.
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk membantu seseorang yang mentalnya sedang tidak baik-baik saja?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Spesialis kedokteran jiwa dr Lahargo Kembaren, SpKJ membagikan empat langkah untuk membantu seseorang dalam mengatasi gejolak mental yang sedang dialaminya. Keempat langkah tersebut termasuk validasi, ventilasi, regulasi, dan konsultasi.
"Menjadi pendengar yang baik saja dulu dan mencoba memvalidasi perasaannya bahwa apa yang dirasakannya, apa yang dipikirannya itu adalah real yang dialaminya. Setelah itu, biarkan dia ventilasi, bercerita dengan apa yang dia rasakan tersebut. Baru kita ajari dia ataupun latih berbagai tekik regulasi emosi dan rasanya kalau terlalu berat, kita ajak atau dorong yang bersangkutan untuk berkonsultasi," ujar dr Lahargo saat dihubungi detikcom, Selasa (12/12/2023).
dr Lahargo menambahkan, validasi perasaan juga perlu dilakukan oleh diri sendiri. Misal, memvalidasi perasaan ketika sedang marah, kesal, sedih, dan tak menghiraukan orang lain yang menentang perasaan tersebut.
Hal tersebut dinamakan self-awareness. Namun, Gen Z perlu berhati-hati karena self-awareness juga bisa berujung pada self-diagnosis. Mengapa demikian?
"Kalau yang namanya self-awareness, boleh ya, kita ngerasa sedih, marah, ini kayaknya gejala-gejala depresi nih, ini kayaknya kok ada cemas nih, boleh tuh self-awareness. Tapi, hindari yang namanya self-diagnosis," terang dr Lahargo.
dr Lahargo menjelaskan, self-diagnosis dapat berujung pada tiga hal yang tak diinginkan, yakni underdiagnosis, overdiagnosis, misdiagnosis.
"Pertama, underdiagnosis. Kita mendiagnosis diri kita lebih kurang daripada yang sebenarnya terjadi. Itu yang membuat kita jadinya tidak aware terhadap gangguan yang sebenarnya udah lebih berat," jelas dr Lahargo.
"Atau bisa yang namanya overdiagnosis. Overdiagnosis itu kita mendiagnosis kita udah berat banget, padahal nggak seperti itu. Itu membuat kita menjadi ketakutan, khawatir yang sangat berlebihan. Itu nggak bagus juga untuk kondisi mental kita jadinya. Yang paling bahaya adalah, misdiagnosis. Itu kalau kita salah mendiagnosisnya, salah akhirnya mencari bantuan dan pertolongan," tambahnya
Senada dengan dr Lahargo, psikolog klinis Rafika Syaiful, M Psi mengatakan bahwa self-diagnosis dapat memperparah gejala gangguan mental.
Psikolog Rafika menyoroti risiko kesalahan interpretasi dan penghayatan yang dapat muncul ketika seseorang mencoba menentukan label gangguan mental pada diri mereka sendiri tanpa bimbingan profesional. Contohnya, penggunaan label seperti bipolar tanpa diagnosis yang tepat dapat mengakibatkan persepsi diri yang tidak akurat dan mempengaruhi kesejahteraan mental.
"Bisa memperparah gejala gangguan mental yang dialami, apalagi kalau penanganannya nggak tepat. Misalnya 'ah, ya ampun ternyata kalau aku kadang happy, kadang sedih itu aku namanya bipolar' sehingga kita jadi menghayati diri kita sebagai orang yang bipolar. Akhirnya jadi banyak 'oh, aku boleh nih kayak gini karena aku bipolar'," jelas Psikolog Rafika saat diwawancarai detikcom, Rabu (13/12/2023).
"Seorang psikolog juga mendiagnosa bahwa 'oke kamu bipolar, oke kamu anxious, kamu depresi' itu prosesnya nggak bisa sekali dua kali konseling. Biasanya perlu anamnesa, perlu tes juga untuk memperkuat. Jadi makanya kita aja sebagai seorang profesional nggak bisa buru-buru untuk mendiagnosa seseorang, apalagi mungkin kalian yang bukan background psikologi mendiagnosa diri kalian. Itu kan bisa bahaya ya kalau sampai salah diagnosa," lanjutnya.
(kna/kna)











































