Istilah second-hand embarrassment ramai di media sosial selepas debat cawapres, Minggu (21/1/2024). Perasaan ini ternyata muncul ketika menyaksikan orang lain melakukan kesalahan, berperilaku canggung atau mengatakan sesuatu yang memalukan.
Beberapa netizen menggunakan istilah ini untuk menggambarkan perasaan malu melihat gestur atau sikap cawapres yang dianggap kurang pas. Dalam debat yang mengangkat tema tentang pembangunan berkelanjutan tersebut, memang sempat terjadi saling sindir dan saling serang di antara cawapres.
Second-hand embarrassment atau rasa malu tidak langsung ini terjadi ketika mengalami ketidaknyamanan pada orang lain, baik mengenalnya atau tidak. Rasa malu pada orang lain ini bisa terjadi saat menonton film atau menyaksikan seseorang melakukan kesalahan konyol.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sering kali, perasaan ini muncul bersamaan dengan kecemasan dan ketakutan akan penilaian sosial yang negatif. Kecemasan bisa menyusahkan dan mungkin menghalangi apa pun yang Anda lakukan saat ini," kata psikolog kesehatan klinis Marielle Collins, PhD dikutip dari Cleveland Clinic.
Lebih lanjut dia mengatakan menyaksikan orang lain mengalami rasa malu dapat meningkatkan pemikiran cemas tentang apakah pengalaman serupa dapat terjadi pada diri sendiri dan mengaktifkan respons stres tubuh.
Second-hand embarrassment bisa terjadi karena otak mengaktifkan sensor emosi. Inilah sebabnya mengapa kita menangis ketika melihat seseorang berduka atau kesakitan dan mengapa kita merasa ngeri atau bereaksi dengan cara tertentu ketika sesuatu yang memalukan terjadi pada orang lain.
Faktanya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kita merasa sedih ketika orang lain mengalami rasa sakit karena meningkatnya kecemasan dan tingkat kesusahan kita. Meskipun kita mengalami tingkat rasa malu yang lebih tinggi ketika sesuatu terjadi pada seseorang yang dekat dengan kita, hal ini juga bisa terjadi ketika kita menonton tayangan di televisi.
"Anda mungkin akan lebih mudah merasa malu jika Anda memiliki kapasitas empati yang tinggi. Saat kita memikirkan empati, kita cenderung berpikir untuk memiliki perasaan emosional yang sama dengan seseorang dimana kita merasakan kepedihan yang sama dengan mereka," jelas Dr Collins.
(kna/kna)











































